Saturday, 14 December 2013

SENI MENAMAI BADAN USAHA & PRODUK.

Nama toko di Pinangsia, Glodok, Jakarta, ini membantu kita untuk mengingat parkir kendaraan di mana. Maksud saya kalau parkirnya memang di dekat toko itu. Bagi orang yang mulai pikun, seperti saya, mengingat kata “Gampang Ingat” pun bisa sulit. Mungkin saja yang terucap saat mencoba mengingat adalah: “Pokoknya tadi parkir di depan Mudah Ingat, eh…Masih Ingat, oh bukan… di Semoga Ingat, eh Pasti Ingat, aduh… ampun dah, lupa-lupa ingat, kayaknya di Sakit Ingatan!” Dari segi pilihan nama, merek dagang ini bersaudara dengan Ojo Lali (Jawa: Jangan Lupa). Ada Djolali yang sigaret klembak menyan. Ada pula Ojo Lali yang toko pernik dekorasi ruang di Kemang Timur, Jakarta Selatan (masih ada nggak ya?). Entahlah bagaimana dengan ojolali.com. Bagaimana menentukan brand yang meyakinkan dan menjual, Andrias Ekoyuono bisa ditanya. Tentu, nama bukanlah segalanya. Bagaimana pun kualitas produk, dan harga, plus pelayanan, juga menentukan. Untunglah orang Pinangsia, pusat bahan bangunan, tak ketularan sate dan sop kambing Pak Kumis. Di sana tak ada Gampang Ingat Asli, Gampang Ingat Tulen, Gampang Ingat Baru, Gampang Ingat Abadi, Gampang Ingat Aming, Gampang Ingat Ahong, Gampang Ingat Akiong, dan entah gampang ingat apa lagi.

KALAU TAK BERBAHAYA BOLEHLAH.

Perintah dan larangan, konon, dibuat berdasarkan pengalaman buruk. Tentu bisa juga begini: peraturan dibikin berdasarkan pengandaian (baca: prasangka) bakal ada orang yang melakukan ini dan itu — padahal belum pernah terjadi. Lantas apa yang mendasari manajemen toserba Matahari Pondokgede untuk memasang peringatan? Moral ceritanya, barangkali, adalah orang Pondokgede suka becanda — termasuk bergurau secara berbahaya di atas eskalator

ANGGAP SAJA WARNA-WARNI KEHIDUPAN

Pria itu tersenyum ketika membaca sapaan di Facebook dari bekas sejawat, apakah dirinya masih suka masuk kerja sore hari. Soal datang sore itu belum tentu setahun lima kali. Kalaupun terjadi, beberapa kali karena pagi harinya dia baru keluar dari kantor. Masih ada beberapa orang yang mengira begitu. Hanya seorang ibu kepala bagian, dan korps satpam, yang tahu bahwa pria itu hampir saban hari datang pagi. Hampir setiap hari. Sangat pagi. Sebelum cleaning service datang. Sebelum office boy tiba. Ketika kunci-kunci pintu masih tersimpan di markas satpam. Ketika pelataran parkir masih lengang. Selain dia, sebagai pembuka pintu adalah si ibu dari bagian lain itu. Datang sore. Itu proyeksi persepsional orang lain. Tak selamanya terbuktikan secara statistik. Tetapi bisa juga statistik dimainkan, dan tampak masuk akal. “Tiga kali saya bareng sampeyan lagi nggesek ID card,” kata saksi lain. Tiga dari tiga kali jejer di mesin presensi berarti seratus persen. Sahih. Tiga kali dalam rentang satu setengah tahun. Itu pun karena paginya lupa presensi. Kebetulan untuk profesi dan jabatannya tak ada kata telat dalam presensi, tapi juga tak ada jam lembur. Tentang persepsi. Kita tak terima kalau persepsi itu negatif, dan cenderung merugikan “citra diri” kita. Tetapi apakah persepsi kita tentang orang lain, tentang orang-orang biasa, bukan tokoh ternama, juga selalu benar? Apalagi jika kita diracuni oleh bisikan wangi kanan-kiri, depan-belakang, dan atas-bawah? Teman saya, sebut saja Ngalimin, hampir tak peduli tentang begituan karena, “Semua orang baik sampai nanti terbukti sebaliknya.” Bagi kita, apa yang kita harapkan itulah yang kita percayai. Maka ketika seseorang yang kita anggap ceroboh melakukan kelalaian biasa, kita akan mudah mengatakan, “Dasar…” Tetapi ketika orang lain yang kita nilai correct, dan baik hati, melakukan kesalahan fatal, maka bisa saja kita menganggapnya hanya kealpaan, atau lagi apes. Boleh tahu apakah Anda pernah korban persepsi? :) Baik yang ringan (misalnya selalu diidentikkan dengan celana pendek dan oblong) sampai yang agak serius (pemalas, ngantukan)? :D Atau barangkali malah korban salah sangka bahkan salah dakwa dari peristiwa bertahun-tahun lampau gara-gara ucapan seseorang? Seorang teman meyakini bahwa si Anuitu, ketika meminta visa ke sebuah kedutaan asing di Jakarta, menjawab, “Sex? Yes, I like it! Twice a week!” “Kenapa sih dia bisa senaif dan senekat itu?” tanyanya kepada saya, tujuh tahun kemudian. Padahal saya tahu persis itu dulu hanya olok-olok. Hanya cerita karangan untuk guyon. Masih untung kalau hanya lelucon. Benar atau salah tetap mengundang tawa. Tetapi jika, “Lho, jadi yang dulu ngambil aki mobil operasional itu bukan sampeyan to?” tentu berat juga. Ketika kita dalam posisi penyangka atau pendakwa, karena bisikan orang lain, maka dengan mudah kita akan berkilah, “Kalo nggak ada bantahan berarti bener.” Berposisi sebagai polisi merangkap jaksa dan sekaligus hakim itu memang enak. :D Yang paling sial adalah jika kita tak sadar bahwa selama bertahun-tahun menjadi korban salah sangka. Yah, namanya juga kehidupan. Tabahlah. :)

Sopir: Pelengkap Mobil

Saya tak tahu dari sekitar 3,5 juta mobil penumpang berpelat nomor B (perkiraan terhadap berita Area) itu berapakah yang dijalankan oleh sopir. Maksud saya oleh pengemudi yang bukan pemilik mobil. Kesan saya, dari pengamatan sekilas, makin banyak mobil pribadi yang dikemudikan oleh sopir khusus. Si pemilik mobil atau keluarganya hanya menjadi penumpang yang dirajakan dan diratukan. Saya ingat tiga belas tahun silam, seorang kawan menjadi bahan tertawaan (tapi saya tak ikut) karena menggunakan sopir untuk Daihatsu Charade putih keluaran akhir 80-an. Tak pantas, kata kawan-kawan. Alasan tak pantas adalah Charade itu city car, mestinya dikendarai sendiri. Selain itu Charade lawas bukanlah mobil mewah. Lebih pantas mobil lawas Toyota Crown Saloon atau Volvo S40 yang bersopir. Begitu kuatnya citra sedan Volvo segala angkatan di pasar Indonesia sebagai mobil bersopir khusus sehingga pemiliknya tak mau menyetir sendiri. Takut dikira sopir. Ah, namanya juga persepsi. BMW seri 3 dari masa ke masa dianggap pantas untuk dikemudikan sendiri oleh pemiliknya, sementara Mercedes Benz C Class bisa oleh sopir maupun pemiliknya. Oh, kita juga tahu, Kijang dan Isuzu segala zaman tak dianggap aneh kalau disopiri. Hal yang sama berlaku untuk Daihatsu Espass dan Suzuki APV, dan kemudian Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. Masyarakat memetakan mana mobil yang layak disopiri sendiri dan mana yang tidak. Sekarang kalau saya melihat iklan SUV beberapa merek mobil kadang geli. Hampir semuanya menawarkan citra kejantanan dan petualangan. Artinya memang disugestikan sebagai mobil yang dikendarai sendiri oleh pemiliknya. Tetapi kenyataan di jalan raya Ibu Kota menunjukkan makin banyak SUV yang bersopir. Hanya sopir gila yang membawa majikanya, yang juga gila, untuk bertualang selayaknya iklan. Sudah biasa jika sebuah Wrangler Rubicon dan Hummer H3 dikemudikan oleh chauffeur, sopir necis bersafari gelap. Bagi saya ini jelas menunjukkan lalu lintas Jakarta Raya semakin tak nyaman untuk mengemudi. Penyebab utama ya kemacetan. Lalu unsur pendukungnya? Memang tenaga kerja lebih murah daripada di negeri industri Barat. Bagi yang tak mau kecapaian, dan pendapatannya memadai, membayar gaji pokok sopir baru setara UMR itu masih terjangkau. Tepatnya: lebih murah daripada biaya sakit jiwa akibat stres di jalan raya. Dari sisi lapangan kerja ini juga bagus. Pertumbuhan kemakmuran kelas menengah-atas juga meneteskan rezeki bernama peluang kerja. Kelak ketika jalanan semakin sesak, dan area parkir menjadi rebutan, fungsi sopir semakin dibutuhkan. Beberapa teman, dan kebetulan ibu-ibu, malah menganggap sopir pribadi itu menaikkan gengsi. “Kesannya keren, gitu. Kita tinggal nunggu sopir di depan lobi sambil ngetwit,” kata seorang ibu muda yang bercita-cita memiliki sopir tapi tak merangkap sebagai suami. Ya begitulah, konsep “kenyamanan berkendara”, yang menjadi mantera perancangan produk dan pemasarannya, di Indonesia berarti nyaman bagi sopir, bukan si pemilik mobil. Sayang hal itu tak mengubah cara mempromosikan mobil. Tapi siapa tahu lho, kelak muncul bonus “gratis: tenaga pengemudi selama tiga bulan” untuk pembelian mobil baru. Mungkin itulah yang menjadi alasan pemerintah untuk membiarkan kemacetan dan enggan menata sistem transportasi publik. Setelah nanti mentok, karena sejak keluar dari rumah sebuah mobil tak dapat beranjak, barulah pemerintah menanya masyarakat enaknya bagaimana.

KORUPTORNYA SIH OPTIMISTIS AKAN BERJAYA.

Seorang cewek kelas tiga SMP bertanya kenapa korupsi tak bisa diberantas, hanya jadi berita, dan lama-lama membosankan. Saya tak tahu apakah gurunya juga mendapatkan pertanyaan serupa. Presiden, dan mereka yang merasa dirinya kandidat presiden, mungkin juga kerepotan untuk menjawabnya secara ringkas dan jelas. Apalagi saya, kan? Jawaban paling aman, sekaligus sok bijaksini, adalah, “Kita harus sabar dan tabah.” Cukup itu saja jawabannya. Jangan bawa-bawa Tuhan karena koruptor juga bawa-bawa Tuhan, sejak sumpah jabatan hingga saat diadili mendapatkan dukungan berupa barisan pelantun doa. Bahkan saat divonis bebas pun – tentu dengan pembuka “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” — seorang koruptor segera bersujud di lantai ruang sidang pengadilan tipikor. Beberapa koruptor malah tampak religius. Saleh, begitulah. Rajin beribadah. Bahkan bermurah hati menyumbang rumah ibadah dan kegiatan keagamaan. Dan ketika ada yang mempersoalkan, mereka mendapatkan pembelaan dari orang baik, “Janganlah hendaknya kalian menjadi hakim atas perkara yang tidak kalian ketahui.” Jika kita bilang korupsi sudah membudaya, rasanya juga basi. Kata beberapa pidato, kita adalah bangsa yang berbudaya (dan berakhlak) tinggi. Kalau korupsi sudah menjadi budaya, haruskah kita memerangi budaya sendiri? Suatu hari seorang ibu bertanya kenapa koruptor dan keluarganya tak malu saat perilakunya terungkap. “Kayaknya santai aja, nggak ngerasa bersalah, malah bangga,” gerutu si ibu. Si ibu mungkin lupa bahwa punya duit banyak itu bisa santai dan cengengesan, apalagi ancaman dari hukum dan negara untuk memiskinkan hanyalah wacana semata. Kalau bangga, entahlah. Setelah divonis bebas, sampai tingkat Mahkamah Agung, mungkin baru bangga. Koruptor dan keluarganya kompak. Mungkin kompak adalah bagian dari iman. Tentang rasa bersalah, mungkin ada — tapi ringan dan segera luntur. Semacam pengendara yang terbiasa menerabas lampu merah dan menggilas garis pembatas jalan, begitulah. Memang salah, tapi santai sajalah, karena orang lain juga melakukan dan dibiarkan. Kalaupun suatu saat tertangkap polantas dan kena tilang, itu pasal nasib. Soal nahas saja. Jadi, apanya yang masih menarik dari kasus demi kasus korupsi? Angka rupiahnya? Penampilan orangnya? Gosipnya? Jaksanya yang kurang galak dan hakimnya yang lembek? Yang patut kita pelajari dari para koruptor adalah optimismenya. Mereka hakkul yakin bahwa masyarakat akan bosan dan menyerah. Mungkin kita memerlukan para motivator kelas kampiun nasional berkemampuan sihir untuk merawat kesadaran kita: “Kalian bisa! Pas-ti bi-sa! Jangan menyerah! Ja-ngan! Semangat, dong! Se-ma-ngat!” Dung-dung prèt!

Anak Kecil dalam Diri Kita

Kita semua masih kanak-kanak. Masih menyukai permainan. Homo ludens. Ketika kita dewasa, politik pun menjadi mainan (ingat istilah “percaturan”?). Bahkan bisnis pun, bagi orang tertentu, kadang masih dinikmati sebagai permainan (ingat “goreng-menggoreng” di bursa?). Permainan itu bisa berupa keasyikan tanding dan lomba melawan orang lain. Bisa juga sekadar melawan permainan itu sendiri — tepatnya melawan si perancang permainan. Tapi, hehe, bisa juga karena alasan yang nggak jelas. Yang penting mempermainkan sesuatu, seperti seorang balita yang menjadikan apa saja untuk dipermainkan. Setiap tindakan akan mendatangkan perubahan. Itulah yang mengasyikkan. Si Upik atau Buyung tak melawan siapa-siapa. Dia hanya memainkan, mempermainkan. Tak beda dengan orang dewasa yang menjadikan hajat hidup orang banyak sebagai hal yang mengasyikkan untuk digoyang. Dalam tingkat yang ringan, karena tak mendatangkan bencana, itu disebut keisengan. Misalnya meletuskan plastik kantong cemilan. Kalau gara-gara itu ada orang terkena serangan jantung maka masalahnya jadi lain. Kecenderungan yang kekanak-kanakan itu sudah lama ditangkap kalangan pemasar. Dari serial kartupos ala Adracks yang bisa digandeng dengan lembar lain (seperti puzzle) sampai advergame yang berbasis multimedia. Semuanya ingin memanfaatkan dorongan kanak-kanak dalam diri konsumen. Blogger kita Pitra sangat paham soal advergame. Kampanye kondom untuk mencegah AIDS, iklan kutang, iklan pembalut wanita, dan entah apa lagi, banyak yang dikemas sebagai permainan lucu di internet. Yang terbaru adalah sajian PT Exelcomindo Pratama untuk menjual X-plor. Anda boleh melemparkan panah dart ke arah si Mbak yang doyan buang pulsa sampai lupa sekitar. Berhadiah kok. Lho kok blog ini ikut jual kecap? Iya, iya, posting ini iklan. Maka harus dinyatakan terus terang supaya tak mengecoh pembaca. :D

Petunjuk Sukses Supaya Sukses Sehingga Sukses

KITA RINDU ORDER DAN RINDU PETUNJUK. buku suloyo, tak bakalan best seller“Apa mereka jadi kaya? Kagak! Kalo gila sih iya,” kata seorang motivator. Dia mengritik eh mengkritik eh mengritisi eh criticized pelatihan untuk pasukan MLM yang hanya memompakan semangat dan semangat melalui serangkaian perangsangan otak. Hmm mungkin bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan juga persaingan bisnis — tepatnya, menurut Thompson dan juga Thomson, bisnis memotivasi orang. Terserahlah. Ada banyak buku petunjuk menuju sukses. Begitu pula seminar dan sejenisnya. Yang paling digemari tampaknya yang mengajari orang untuk menjadi kaya secara finansial. Ada sih yang menyertakan anjuran altruistik: kalau Anda kaya maka akan lebih bisa membantu orang lain. Akal sehat umumnya konsumen mungkin seperti saya. Petunjuk kaya hanya sahih jika diberikan oleh orang yang kaya. Buku di kaki lima yang ditulis oleh entah siapa itu menjadi meragukan karena penulisnya belum dikenal sebagai orang kaya, bahkan penerbitnya pun tampaknya belum kaya oleh buku itu. Atau ukuran kaya menurut kaki lima memang berbeda? Oh iya ya. Dalam kalimat yang gampang, kalau yang menulis petunjuk itu bekas presiden korup atau taipan sekelas Pak Sudono Salim (karena tenar), maka banyak orang akan sangat percaya. Tapi kepercayaan belum langsung bisa menggerakan orang kan? Memang, intinya bukan hanya pada petunjuk. Para pemberi petunjuk sukses selalu mensyaratkan satu hal: semuanya bergantung pada setiap pribadi, mau berubah atau tidak — termasuk mengubah cara pandang, cara pikir, dan cara bertindak. Klise, tapi huuuu… tak semua orang bisa. majalah kemayu, untuk wanita masa kiniTapi yah…. inilah manusia. Kita meledek Harmoko sebagai peminta petunjuk, padahal kita sendiri penggemar petunjuk. Dari petunjuk yang sangat praktis, dibungkus sebagai kumpulan tip berkomputer (huahahahaha!), tip supaya sukses ngeblog (saya sangat salut pada Anda, Bud!), tip menjadi wanita urban, sampai petunjuk mencapai kebeningan spiritual. Sebagai konsumen, kita membutuhkan manual setiap produk — padahal kadang malas membacanya; sama malasnya dengan membaca tutorial dan help maupun FAQ setiap aplikasi. Kalau terhadap petunjuk berlalu lintas, yang terwakili oleh rambu, mungkin persoalannya bukan kemalasan. :) Kita butuh petunjuk karena kita mengakui kelemahan kita, sekaligus meyakini kemampuan kita untuk belajar sejumlah hal. Miss Mbak Teteh Mpokb mencerahkan kita: “Manusia punya otak yang hebat, dan strategi pertahanan kita adalah mampu berpikir dengan baik.” Adakah petunjuk untuk gagal? Mestinya ada. Sayang sekali, sesuatu yang mudah, dan menjadi pengalaman banyak orang, dianggap kurang layak menjadi tujuan. Kegagalan lebih sering menjadi pelajaran dalam rangka daripada yang mana merupakan adalah menuju keberhasilan. Kalau mau ngawur, anggap saja persoalannya ada pada cara pandang: sukses (apa pun itu) dianggap positif, dan gagal itu negatif. Maka misalkan ada buku petunjuk menjadi kere, kita hanya memercayainya jika yang bikin memang kere tulen, bukan dari golongan Schumacher — baik Schumacher yang penggagas, Schumacher yang tukang sepatu, maupun Schumacher yang pembalap. Ini Schumacher-nya wong Jawa: sumaker. Singkatan “sugih macak kere”. Saya mendengar guyon ini dari Raharjo Waluyo Jati tiga pekan lalu selagi ngopi. Kalau sugih macak keren, itu wajar. Andaikan boleh dan bisa memilih, saya mau jadi orang kaya. Kalau tajir, saya bisa berlagak kismin. Lebih mudah daripada sebaliknya, kan?