Saturday, 14 December 2013
SENI MENAMAI BADAN USAHA & PRODUK.
Nama toko di Pinangsia, Glodok, Jakarta, ini membantu kita untuk mengingat parkir kendaraan di mana. Maksud saya kalau parkirnya memang di dekat toko itu.
Bagi orang yang mulai pikun, seperti saya, mengingat kata “Gampang Ingat” pun bisa sulit.
Mungkin saja yang terucap saat mencoba mengingat adalah: “Pokoknya tadi parkir di depan Mudah Ingat, eh…Masih Ingat, oh bukan… di Semoga Ingat, eh Pasti Ingat, aduh… ampun dah, lupa-lupa ingat, kayaknya di Sakit Ingatan!”
Dari segi pilihan nama, merek dagang ini bersaudara dengan Ojo Lali (Jawa: Jangan Lupa). Ada Djolali yang sigaret klembak menyan. Ada pula Ojo Lali yang toko pernik dekorasi ruang di Kemang Timur, Jakarta Selatan (masih ada nggak ya?). Entahlah bagaimana dengan ojolali.com.
Bagaimana menentukan brand yang meyakinkan dan menjual, Andrias Ekoyuono bisa ditanya. Tentu, nama bukanlah segalanya. Bagaimana pun kualitas produk, dan harga, plus pelayanan, juga menentukan.
Untunglah orang Pinangsia, pusat bahan bangunan, tak ketularan sate dan sop kambing Pak Kumis. Di sana tak ada Gampang Ingat Asli, Gampang Ingat Tulen, Gampang Ingat Baru, Gampang Ingat Abadi, Gampang Ingat Aming, Gampang Ingat Ahong, Gampang Ingat Akiong, dan entah gampang ingat apa lagi.
KALAU TAK BERBAHAYA BOLEHLAH.
Perintah dan larangan, konon, dibuat berdasarkan pengalaman buruk. Tentu bisa juga begini: peraturan dibikin berdasarkan pengandaian (baca: prasangka) bakal ada orang yang melakukan ini dan itu — padahal belum pernah terjadi.
Lantas apa yang mendasari manajemen toserba Matahari Pondokgede untuk memasang peringatan?
Moral ceritanya, barangkali, adalah orang Pondokgede suka becanda — termasuk bergurau secara berbahaya di atas eskalator
ANGGAP SAJA WARNA-WARNI KEHIDUPAN
Pria itu tersenyum ketika membaca sapaan di Facebook dari bekas sejawat, apakah dirinya masih suka masuk kerja sore hari. Soal datang sore itu belum tentu setahun lima kali. Kalaupun terjadi, beberapa kali karena pagi harinya dia baru keluar dari kantor.
Masih ada beberapa orang yang mengira begitu. Hanya seorang ibu kepala bagian, dan korps satpam, yang tahu bahwa pria itu hampir saban hari datang pagi. Hampir setiap hari. Sangat pagi. Sebelum cleaning service datang. Sebelum office boy tiba. Ketika kunci-kunci pintu masih tersimpan di markas satpam. Ketika pelataran parkir masih lengang. Selain dia, sebagai pembuka pintu adalah si ibu dari bagian lain itu.
Datang sore. Itu proyeksi persepsional orang lain. Tak selamanya terbuktikan secara statistik.
Tetapi bisa juga statistik dimainkan, dan tampak masuk akal. “Tiga kali saya bareng sampeyan lagi nggesek ID card,” kata saksi lain.
Tiga dari tiga kali jejer di mesin presensi berarti seratus persen. Sahih.
Tiga kali dalam rentang satu setengah tahun. Itu pun karena paginya lupa presensi. Kebetulan untuk profesi dan jabatannya tak ada kata telat dalam presensi, tapi juga tak ada jam lembur.
Tentang persepsi. Kita tak terima kalau persepsi itu negatif, dan cenderung merugikan “citra diri” kita.
Tetapi apakah persepsi kita tentang orang lain, tentang orang-orang biasa, bukan tokoh ternama, juga selalu benar? Apalagi jika kita diracuni oleh bisikan wangi kanan-kiri, depan-belakang, dan atas-bawah?
Teman saya, sebut saja Ngalimin, hampir tak peduli tentang begituan karena, “Semua orang baik sampai nanti terbukti sebaliknya.”
Bagi kita, apa yang kita harapkan itulah yang kita percayai. Maka ketika seseorang yang kita anggap ceroboh melakukan kelalaian biasa, kita akan mudah mengatakan, “Dasar…”
Tetapi ketika orang lain yang kita nilai correct, dan baik hati, melakukan kesalahan fatal, maka bisa saja kita menganggapnya hanya kealpaan, atau lagi apes.
Boleh tahu apakah Anda pernah korban persepsi? :) Baik yang ringan (misalnya selalu diidentikkan dengan celana pendek dan oblong) sampai yang agak serius (pemalas, ngantukan)? :D
Atau barangkali malah korban salah sangka bahkan salah dakwa dari peristiwa bertahun-tahun lampau gara-gara ucapan seseorang?
Seorang teman meyakini bahwa si Anuitu, ketika meminta visa ke sebuah kedutaan asing di Jakarta, menjawab, “Sex? Yes, I like it! Twice a week!”
“Kenapa sih dia bisa senaif dan senekat itu?” tanyanya kepada saya, tujuh tahun kemudian. Padahal saya tahu persis itu dulu hanya olok-olok. Hanya cerita karangan untuk guyon.
Masih untung kalau hanya lelucon. Benar atau salah tetap mengundang tawa. Tetapi jika, “Lho, jadi yang dulu ngambil aki mobil operasional itu bukan sampeyan to?” tentu berat juga.
Ketika kita dalam posisi penyangka atau pendakwa, karena bisikan orang lain, maka dengan mudah kita akan berkilah, “Kalo nggak ada bantahan berarti bener.” Berposisi sebagai polisi merangkap jaksa dan sekaligus hakim itu memang enak. :D
Yang paling sial adalah jika kita tak sadar bahwa selama bertahun-tahun menjadi korban salah sangka.
Yah, namanya juga kehidupan. Tabahlah. :)
Sopir: Pelengkap Mobil
Saya tak tahu dari sekitar 3,5 juta mobil penumpang berpelat nomor B (perkiraan terhadap berita Area) itu berapakah yang dijalankan oleh sopir. Maksud saya oleh pengemudi yang bukan pemilik mobil. Kesan saya, dari pengamatan sekilas, makin banyak mobil pribadi yang dikemudikan oleh sopir khusus. Si pemilik mobil atau keluarganya hanya menjadi penumpang yang dirajakan dan diratukan.
Saya ingat tiga belas tahun silam, seorang kawan menjadi bahan tertawaan (tapi saya tak ikut) karena menggunakan sopir untuk Daihatsu Charade putih keluaran akhir 80-an. Tak pantas, kata kawan-kawan. Alasan tak pantas adalah Charade itu city car, mestinya dikendarai sendiri. Selain itu Charade lawas bukanlah mobil mewah. Lebih pantas mobil lawas Toyota Crown Saloon atau Volvo S40 yang bersopir.
Begitu kuatnya citra sedan Volvo segala angkatan di pasar Indonesia sebagai mobil bersopir khusus sehingga pemiliknya tak mau menyetir sendiri. Takut dikira sopir. Ah, namanya juga persepsi. BMW seri 3 dari masa ke masa dianggap pantas untuk dikemudikan sendiri oleh pemiliknya, sementara Mercedes Benz C Class bisa oleh sopir maupun pemiliknya.
Oh, kita juga tahu, Kijang dan Isuzu segala zaman tak dianggap aneh kalau disopiri. Hal yang sama berlaku untuk Daihatsu Espass dan Suzuki APV, dan kemudian Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. Masyarakat memetakan mana mobil yang layak disopiri sendiri dan mana yang tidak.
Sekarang kalau saya melihat iklan SUV beberapa merek mobil kadang geli. Hampir semuanya menawarkan citra kejantanan dan petualangan. Artinya memang disugestikan sebagai mobil yang dikendarai sendiri oleh pemiliknya. Tetapi kenyataan di jalan raya Ibu Kota menunjukkan makin banyak SUV yang bersopir. Hanya sopir gila yang membawa majikanya, yang juga gila, untuk bertualang selayaknya iklan. Sudah biasa jika sebuah Wrangler Rubicon dan Hummer H3 dikemudikan oleh chauffeur, sopir necis bersafari gelap.
Bagi saya ini jelas menunjukkan lalu lintas Jakarta Raya semakin tak nyaman untuk mengemudi. Penyebab utama ya kemacetan. Lalu unsur pendukungnya? Memang tenaga kerja lebih murah daripada di negeri industri Barat. Bagi yang tak mau kecapaian, dan pendapatannya memadai, membayar gaji pokok sopir baru setara UMR itu masih terjangkau. Tepatnya: lebih murah daripada biaya sakit jiwa akibat stres di jalan raya.
Dari sisi lapangan kerja ini juga bagus. Pertumbuhan kemakmuran kelas menengah-atas juga meneteskan rezeki bernama peluang kerja. Kelak ketika jalanan semakin sesak, dan area parkir menjadi rebutan, fungsi sopir semakin dibutuhkan.
Beberapa teman, dan kebetulan ibu-ibu, malah menganggap sopir pribadi itu menaikkan gengsi. “Kesannya keren, gitu. Kita tinggal nunggu sopir di depan lobi sambil ngetwit,” kata seorang ibu muda yang bercita-cita memiliki sopir tapi tak merangkap sebagai suami.
Ya begitulah, konsep “kenyamanan berkendara”, yang menjadi mantera perancangan produk dan pemasarannya, di Indonesia berarti nyaman bagi sopir, bukan si pemilik mobil. Sayang hal itu tak mengubah cara mempromosikan mobil. Tapi siapa tahu lho, kelak muncul bonus “gratis: tenaga pengemudi selama tiga bulan” untuk pembelian mobil baru.
Mungkin itulah yang menjadi alasan pemerintah untuk membiarkan kemacetan dan enggan menata sistem transportasi publik. Setelah nanti mentok, karena sejak keluar dari rumah sebuah mobil tak dapat beranjak, barulah pemerintah menanya masyarakat enaknya bagaimana.
KORUPTORNYA SIH OPTIMISTIS AKAN BERJAYA.
Seorang cewek kelas tiga SMP bertanya kenapa korupsi tak bisa diberantas, hanya jadi berita, dan lama-lama membosankan. Saya tak tahu apakah gurunya juga mendapatkan pertanyaan serupa.
Presiden, dan mereka yang merasa dirinya kandidat presiden, mungkin juga kerepotan untuk menjawabnya secara ringkas dan jelas. Apalagi saya, kan?
Jawaban paling aman, sekaligus sok bijaksini, adalah, “Kita harus sabar dan tabah.”
Cukup itu saja jawabannya. Jangan bawa-bawa Tuhan karena koruptor juga bawa-bawa Tuhan, sejak sumpah jabatan hingga saat diadili mendapatkan dukungan berupa barisan pelantun doa. Bahkan saat divonis bebas pun – tentu dengan pembuka “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” — seorang koruptor segera bersujud di lantai ruang sidang pengadilan tipikor.
Beberapa koruptor malah tampak religius. Saleh, begitulah. Rajin beribadah. Bahkan bermurah hati menyumbang rumah ibadah dan kegiatan keagamaan. Dan ketika ada yang mempersoalkan, mereka mendapatkan pembelaan dari orang baik, “Janganlah hendaknya kalian menjadi hakim atas perkara yang tidak kalian ketahui.”
Jika kita bilang korupsi sudah membudaya, rasanya juga basi. Kata beberapa pidato, kita adalah bangsa yang berbudaya (dan berakhlak) tinggi. Kalau korupsi sudah menjadi budaya, haruskah kita memerangi budaya sendiri?
Suatu hari seorang ibu bertanya kenapa koruptor dan keluarganya tak malu saat perilakunya terungkap. “Kayaknya santai aja, nggak ngerasa bersalah, malah bangga,” gerutu si ibu.
Si ibu mungkin lupa bahwa punya duit banyak itu bisa santai dan cengengesan, apalagi ancaman dari hukum dan negara untuk memiskinkan hanyalah wacana semata. Kalau bangga, entahlah. Setelah divonis bebas, sampai tingkat Mahkamah Agung, mungkin baru bangga. Koruptor dan keluarganya kompak. Mungkin kompak adalah bagian dari iman.
Tentang rasa bersalah, mungkin ada — tapi ringan dan segera luntur. Semacam pengendara yang terbiasa menerabas lampu merah dan menggilas garis pembatas jalan, begitulah. Memang salah, tapi santai sajalah, karena orang lain juga melakukan dan dibiarkan. Kalaupun suatu saat tertangkap polantas dan kena tilang, itu pasal nasib. Soal nahas saja.
Jadi, apanya yang masih menarik dari kasus demi kasus korupsi? Angka rupiahnya? Penampilan orangnya? Gosipnya? Jaksanya yang kurang galak dan hakimnya yang lembek?
Yang patut kita pelajari dari para koruptor adalah optimismenya. Mereka hakkul yakin bahwa masyarakat akan bosan dan menyerah.
Mungkin kita memerlukan para motivator kelas kampiun nasional berkemampuan sihir untuk merawat kesadaran kita: “Kalian bisa! Pas-ti bi-sa! Jangan menyerah! Ja-ngan! Semangat, dong! Se-ma-ngat!”
Dung-dung prèt!
Anak Kecil dalam Diri Kita
Kita semua masih kanak-kanak. Masih menyukai permainan. Homo ludens. Ketika kita dewasa, politik pun menjadi mainan (ingat istilah “percaturan”?). Bahkan bisnis pun, bagi orang tertentu, kadang masih dinikmati sebagai permainan (ingat “goreng-menggoreng” di bursa?).
Permainan itu bisa berupa keasyikan tanding dan lomba melawan orang lain. Bisa juga sekadar melawan permainan itu sendiri — tepatnya melawan si perancang permainan.
Tapi, hehe, bisa juga karena alasan yang nggak jelas. Yang penting mempermainkan sesuatu, seperti seorang balita yang menjadikan apa saja untuk dipermainkan. Setiap tindakan akan mendatangkan perubahan. Itulah yang mengasyikkan.
Si Upik atau Buyung tak melawan siapa-siapa. Dia hanya memainkan, mempermainkan. Tak beda dengan orang dewasa yang menjadikan hajat hidup orang banyak sebagai hal yang mengasyikkan untuk digoyang.
Dalam tingkat yang ringan, karena tak mendatangkan bencana, itu disebut keisengan. Misalnya meletuskan plastik kantong cemilan. Kalau gara-gara itu ada orang terkena serangan jantung maka masalahnya jadi lain.
Kecenderungan yang kekanak-kanakan itu sudah lama ditangkap kalangan pemasar. Dari serial kartupos ala Adracks yang bisa digandeng dengan lembar lain (seperti puzzle) sampai advergame yang berbasis multimedia. Semuanya ingin memanfaatkan dorongan kanak-kanak dalam diri konsumen.
Blogger kita Pitra sangat paham soal advergame. Kampanye kondom untuk mencegah AIDS, iklan kutang, iklan pembalut wanita, dan entah apa lagi, banyak yang dikemas sebagai permainan lucu di internet.
Yang terbaru adalah sajian PT Exelcomindo Pratama untuk menjual X-plor. Anda boleh melemparkan panah dart ke arah si Mbak yang doyan buang pulsa sampai lupa sekitar. Berhadiah kok.
Lho kok blog ini ikut jual kecap? Iya, iya, posting ini iklan. Maka harus dinyatakan terus terang supaya tak mengecoh pembaca. :D
Petunjuk Sukses Supaya Sukses Sehingga Sukses
KITA RINDU ORDER DAN RINDU PETUNJUK.
buku suloyo, tak bakalan best seller“Apa mereka jadi kaya? Kagak! Kalo gila sih iya,” kata seorang motivator. Dia mengritik eh mengkritik eh mengritisi eh criticized pelatihan untuk pasukan MLM yang hanya memompakan semangat dan semangat melalui serangkaian perangsangan otak.
Hmm mungkin bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan juga persaingan bisnis — tepatnya, menurut Thompson dan juga Thomson, bisnis memotivasi orang. Terserahlah.
Ada banyak buku petunjuk menuju sukses. Begitu pula seminar dan sejenisnya. Yang paling digemari tampaknya yang mengajari orang untuk menjadi kaya secara finansial. Ada sih yang menyertakan anjuran altruistik: kalau Anda kaya maka akan lebih bisa membantu orang lain.
Akal sehat umumnya konsumen mungkin seperti saya. Petunjuk kaya hanya sahih jika diberikan oleh orang yang kaya. Buku di kaki lima yang ditulis oleh entah siapa itu menjadi meragukan karena penulisnya belum dikenal sebagai orang kaya, bahkan penerbitnya pun tampaknya belum kaya oleh buku itu. Atau ukuran kaya menurut kaki lima memang berbeda? Oh iya ya.
Dalam kalimat yang gampang, kalau yang menulis petunjuk itu bekas presiden korup atau taipan sekelas Pak Sudono Salim (karena tenar), maka banyak orang akan sangat percaya. Tapi kepercayaan belum langsung bisa menggerakan orang kan?
Memang, intinya bukan hanya pada petunjuk. Para pemberi petunjuk sukses selalu mensyaratkan satu hal: semuanya bergantung pada setiap pribadi, mau berubah atau tidak — termasuk mengubah cara pandang, cara pikir, dan cara bertindak. Klise, tapi huuuu… tak semua orang bisa.
majalah kemayu, untuk wanita masa kiniTapi yah…. inilah manusia. Kita meledek Harmoko sebagai peminta petunjuk, padahal kita sendiri penggemar petunjuk. Dari petunjuk yang sangat praktis, dibungkus sebagai kumpulan tip berkomputer (huahahahaha!), tip supaya sukses ngeblog (saya sangat salut pada Anda, Bud!), tip menjadi wanita urban, sampai petunjuk mencapai kebeningan spiritual.
Sebagai konsumen, kita membutuhkan manual setiap produk — padahal kadang malas membacanya; sama malasnya dengan membaca tutorial dan help maupun FAQ setiap aplikasi. Kalau terhadap petunjuk berlalu lintas, yang terwakili oleh rambu, mungkin persoalannya bukan kemalasan. :)
Kita butuh petunjuk karena kita mengakui kelemahan kita, sekaligus meyakini kemampuan kita untuk belajar sejumlah hal. Miss Mbak Teteh Mpokb mencerahkan kita: “Manusia punya otak yang hebat, dan strategi pertahanan kita adalah mampu berpikir dengan baik.”
Adakah petunjuk untuk gagal? Mestinya ada. Sayang sekali, sesuatu yang mudah, dan menjadi pengalaman banyak orang, dianggap kurang layak menjadi tujuan. Kegagalan lebih sering menjadi pelajaran dalam rangka daripada yang mana merupakan adalah menuju keberhasilan.
Kalau mau ngawur, anggap saja persoalannya ada pada cara pandang: sukses (apa pun itu) dianggap positif, dan gagal itu negatif.
Maka misalkan ada buku petunjuk menjadi kere, kita hanya memercayainya jika yang bikin memang kere tulen, bukan dari golongan Schumacher — baik Schumacher yang penggagas, Schumacher yang tukang sepatu, maupun Schumacher yang pembalap.
Ini Schumacher-nya wong Jawa: sumaker. Singkatan “sugih macak kere”. Saya mendengar guyon ini dari Raharjo Waluyo Jati tiga pekan lalu selagi ngopi. Kalau sugih macak keren, itu wajar.
Andaikan boleh dan bisa memilih, saya mau jadi orang kaya. Kalau tajir, saya bisa berlagak kismin. Lebih mudah daripada sebaliknya, kan?
KANTOR ADALAH TEMPAT KERJA DAN… ISTIRAHAT!
Belum semua barang pribadi masuk kardus. Kardus-kardus yang sudah terisi pun belum tersegel karena nantinya masih harus diperiksa. Nah, calon lain pengisi kardus adalah bantal. Kalau kasurnya sih sudah dikempiskan dan masuk kotak.
Bantal? Ya. Buat tidur siang di kantor. Siesta itu bagus untuk kesehatan. Ini kebiasaan saya selama belasan tahun bekerja.
Hanya tidur siang? Tidak. Bisa juga datang pagi, lalu tidur karena masih ngantuk. Juga bisa tidur sore. Baik tidur sambil duduk di kursi kerja — artinya bantal cuma dibangku dan dipeluk supaya perut tak kembung — maupun berbaring.
Soal berbaring, itu bisa di atas matras gulung, sofa, tiga kursi disambung, meja panjang, dan akhirnya kasur pompa. Kasur itu hadiah ultah dari teman-teman sekantor. Empuk. Nyaman. Melelapkan.
kasur di kantor
Dulu saat menerima kasur itu saya sempat GR sekaligus was-was. Saya pikir dalam kemasan ada bonusnya, berupa pria dan wanita — seperti ditunjukkan oleh foto. Kalau prianya sih bisa saya usir. Lha wanitanya? Untunglah, hadiah yang saya terima bukanlah lampu ajaib yang berisi jin.
Tentang tidur di kantor — bukan dalam arti menginap — ternyata bisa jadi peluang bisnis orang kreatif. Jepang sudah memulainya. Jadi berita di sini, dan jadi posting di sini.
bantal di kantor
Hmmm… lelaki memang tak lebih dari kanak-kanak yang terus menua. Mereka (heh, apa? mereka?) nyaman dan damai dalam pangkuan lawan jenis, sampai terlelap. Mungkin teringat buaian emak.
Kalau bantalnya berupa wanita betulan, muda dan cantik-seksi pula, bisa menimbulkan masalah. Misalnya bau. Selain itu juga gangguan tidur. Pria mau tidur, wanitanya mengusik terus. Tak ada masalah pria dan wanita tidur bersama sepanjang sama-sama terlelap — dan masing-masing diam manis.
Untuk wanita (dan gay) ya pakai bantal yang ini saja. Serasa dipeluk dan nyender di dada bidang. ;)
MENGARANG CERITA, MENGARANG LAPORAN.
“… tetapi ibu saya kata dia pernah tidur dengan tiga orang lelaki di hotel di mana dengan itu sah bahawa saya ini anak luar nikah…”
Coretan tangan itu bagian dari tiga gambar yang saya temukan barusan ketika saya membersihkan hard disk.
Saya lupa dari mana asalnya. Saya tak tahu hak cipta gambar maupun karya tulis itu punya siapa (dari Malaysia?). Yang pasti saya sempat teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma Pelajaran Mengarang.
Mengarang. Cuma mereka-reka cerita. Ada yang bilang itu mudah. Waktu di SD, inilah tugas yang saya sukai, tapi sayang dia seperti penilik sekolah dan penjaja barang unik: datang tanpa jadwal pasti, pokoknya jarang.
Ada yang bilang mengarang itu menyebalkan. Teman sebangku saya jadi stres. Begitu pula yang di depan, kanan, kiri, maupun belakang bangku saya.
Mau karangan bebas, mau karangan bertopik dari guru, kurva nilai saya ya seperti ekualiser nada tengah: antara enam dan tujuh.
Tak soal bagi saya. Yang penting bisa menulis semau saya. Semakin saya girang, karena boleh menulis bebas — atau malah mengharuskan diri untuk bebas padahal Bu Guru sudah tentukan topik “liburan” — semakin rendah nilai saya. Pernah mendapat lima. Karangan di luar penugasan, misalnya guru dikejar kambing, dianggap tak kreatif.
Mengarang. Ngarang. Tak bertolak dari fakta. Jika menyangkut tuduhan dan kesaksian maka tak ada pujian. “Wooo enak aja ngarang!” begitu tanggapannya. Lain halnya jika itu ditulis oleh sastrawan. Pernah juga sih pemenang Pulitzer ternyata mengarang laporan jurnalistiknya.
Di sisi lain, reserse polisi kadang merasa mendapatkan mainan jika menghadapi pelapor maupun saksi yang mengarang cerita. Yang pernah saya lihat di ruang interogasi, seorang bintara mengeluarkan pistol untuk mengembalikan alur cerita si tersangka.
Si tersangka penodong itu bercerita punya luka lama, bekas tembusan pelor, yang tercipta dari peluru yang memantul dari batu, sebelum kena batu sudah membentur tembok, sebelum membentur tembok sudah mengenai tiang besi. Sungguh seperti komik Lucky Luke.
Di mana bekas luka lama itu?
Si tersangka berdiri, membelakangi meja interogasi, lalu melorotkan celananya yang sudah terpotong tinggal sedengkul, kemudian membungkuk dalam-dalam, dan menunjukkan pantatnya kepada Pak Polisi.
Dini hari yang gerah itu, 15 tahun lalu, di Polsek Tanjungduren, Jakarta Barat, mesin tik interogator sudah diam sejak lima menit sebelumnya. Kemudian pistol menggantikannya.
Yang saya ceritakan barusan adalah kesaksian sumir. Mungkin berbau karangan. Sejak saya SD para guru saya, salah satunya adalah Bu Murni, menyebut tugas untuk menulis cerita — termasuk cerita nyata, semisal melaporkan sepeda ditabrak Gaz tentara — sebagai “mengarang”.
Jadi, anggap saja coretan di buku tulis yang terfoto itu cuma mengarang. Toh keputusan penting pemerintah juga bisa bertolak dari karangan yang diyakini sebagai data sahih.
Bagaimana belajar mengarang, bertanyalah kepada Yayan Sopyan. Dia punya sekolah penulisan.
Hari tanpa TV Boleh tanpa Partisipasi
“JADI aku besok nggak boleh nonton TV, Pak?” tanya si bungsu Raras. Dia menanggapi Hari tanpa TV besok Minggu. Kakaknya, Day, yang sudah mendengar Hari tanpa TV itu ikutan, “Iya Pak, nggak boleh? Emang napa?”
Jawaban saya, “Boleh kok. Nggak apa-apa. Toh selama ini kita nonton TV nggak berlebihan.”
Jawaban yang sok bijak tapi gombal. Padahal ukuran siapa yang dipakai? Kalau untuk saya, yah… seminggu paleng banter nonton TV cuma dua jam (uh, lagu lama).
Anak-anak saya? Yah lebih dari sayalah, tapi setahu saya mereka nggak khatam MTV karena kurang waktu untuk menontonnya. Ada sih yang lebih mendasar: pesawat TV di rumah saya cuma satu, kalau tak ada yang menonton ya dimatikan.
Memang ini seperti menentang kelaziman ber-TV. Yang namanya TV itu kalau kadung menyala biasanya susah mati. Si A beranjak, tempatnya digantikan oleh si B, berikut remote controller-nya. Satu pesawat berganti penonton. Bayangkan kalau satu orang satu TV, di kamar masing-masing. Tak ada kontrol. Lagi pula fungsi pesawat TV sebagai tungku perapian pengundang berkumpul jadi luntur.
Jadi? Terserah anak-anak, apakah besok mau nonton TV atau mematikannya. Toh sejauh ini mereka tak menggunakan seluruh waktu di luar belajar dan tidur untuk menonton TV.
Tentang Hari tanpa TV itu, saya sepenuhnya memahami alasan Bobby Guntarto dan barisannya. Saya pun pernah terganggu ketika anak saya dulu, semasih TK, cuma ah-uh ngeri melihat tayangan pencuri dianiaya dalam prime time yang berarti anak kecil belum tidur.
Tapi sori Bob, meski saya, eh keluarga kami, paham niat mulia Anda, kami merasa boleh untuk tak berpartisipasi. Sejauh ini kami belum terlalu dijajah oleh TV.
Oh TV! Dapatkah kita terbebas darinya? Ada pendapat, kabarnya berdasarkan riset, heavy viewer kurang suka membaca. Taruh kata ini benar, tentu tak dapat kita balik: mereka yang suka membaca cenderung kurang suka menonton TV.
Secara kasuistis toh saya jumpai orang yang suka membaca juga suka menonton TV. Bagusnya mereka bisa mengatur waktu.
Tapi terlepas dari manajemen waktu, bagi saya TV dan bacaan, juga internet, adalah soal pilihan dalam mengonsumsi media. Biarkan setiap orang (dewasa) memilihnya.
Memang pendapat saya ini ada bolongnya. Bisa saja muncul sanggahan, kalau masalahnya adalah keterbatasan bahan bacaan karena harganya mahal, padahal yang ada di rumah cuma TV, apakah ada jaminan bahwa keluarga pemiliknya akan selektif terhadap acara TV?
Saya tak punya jawaban, selain pernyataan bahwa kami juga kurang bacaan tapi sampai hari ini TV belum sampai menyala sejak pagi sampai dini hari.
UPDATE: 23/07/06 – 22:02: Hari ini, Ahad, tak tak lama menyala. Bukan karena anjuran, melainkan karena ada kegiatan lain :)
KADANG SAYA KEHILANGAN WARUNG
Sebetulnya bukan urusan saya. Ketika sebuah warung tak buka lagi, saya tak perlu merasa dirugikan. Tentu dengan catatan: sepanjang masih ada warung lain.
Warung yang saya maksud bukan warung makan. Tapi toko atau kios kelontong kecil. Saya tak tahu penyebabnya, tapi kadang ada rasa sayang (Jawa: ngeman) dalam diri saya setiap kali mendapati sebuah warung tutup untuk selamanya.
Dari yang saya eman itu sebagian besar pemiliknya tak saya kenal. Bahkan lebih umum lagi, saya belum pernah membeli sesuatu di situ. Tapi rasanya saya kehilangan.
Perasaan ini tumbuh ketika saya berusia delapan tahun. Warung bercat biru, dengan poster Naspro, yang belum pernah saya datangi itu akhirnya tutup, berubah menjadi kamar mahasiswa pemondok.
Hampir setiap hari saya lewat di depannya. Sebuah warung di Jetis, dekat sawah, di Jalan Imam Bonjol, Salatiga. Saya kehilangan sesuatu yang tak penting, sesuatu yang berjarak, yang bukan urusan saya. Tampang keluarga pemilik warung itu pun tak saya hapal.
Sekarang, menjelang belokan ke kompleks saya, saya sering teringat warung yang pernah ada di situ. Saya pernah singgah, belasan tahun lalu, tapi tak ingat beli apa. Yang saya ingat, warung itu kusam, kotor berdebu, gelap, ditunggui kakek dan nenek. Salah satu jualannya adalah celengan tembikar. Warung itu juga jual es batu.
Ketika mendapati warung yang mulai sepi dagangan, dan sepi pembeli, saya juga merasa ngeman. Setelah masuk kompleks saya, di depan masjid ada warung milik orang Cina Pontianak. Sudah setahun ini dagangannya tak sebanyak dulu. Dari luar tampak rak kosong. Saya dulu sering ke sana, membeli rokok dan cemilan. Setelah ada Alfamart, pilihan utama saya ya ke toko swalayan itu.
Keluarga saya belum pernah buka warung. Memang sih, waktu kecil saya sering membayangkan alangkah nikmatnya jika ibu saya punya warung. Pasti permen dan uang jajan tinggal mengambil.
Karena itulah saya tak tahu persis perasaan pemiliknya ketika harus menghentikan kegiatan berwarungnya.
Bagi saya warung bukan hanya penyedia barang. Warung adalah pintu sosialisasi. Menanyakan alamat di sebuah lokasi, atau mencari pondokan dan kontrakan di sekitar, dan memperkenalkan diri sebagai warga baru di sebuah lingkungan, dimulai dari warung.
Warung juga merupakan pengukur kepercayaan. Tak ada kembalian kita boleh meninggalkan piutang. Atau kadang, karena tak ada uang receh untuk kembalian, si pemilik warung membolehkan kita mengutang.
Dulu, ketika kuliah, saya kadang mengikut teman yang mondok di rumah saya (akhirnya jadi saudara) untuk pulang kampung. Ke rumahnya yang berwarung di Desa Kuwageyan, Polanharjo, Klaten.
Ikut menunggui warung, dan sesekali ikut kulakan ke Delanggu, bagi saya adalah hiburan. Sebatas hiburan, karena saya tahu tak bakal kerasan menjalani hari sampai tua sebagai penjaga warung berpetromaks di seberang sawah yang tutup pukul tujuh.
Lantas apa urusan itu semua dengan rasa ngeman? Saya tak tahu.
Sering terbayang, bagaimana suramnya ekonomi keluarga pewarung setelah tokonya tutup. Tapi beberapa kasus membantah bayangan saya. Tak jarang sebuah warung buka sepanjang pendirinya masih hidup dan butuh kesibukan.
Ketika anak-anak besar dan lulus sekolah, mereka tak butuh buka warung. Tutup warung direlakan berlanjut menjadi warung tutup. Tapi tetap saja saya menyayangkannya. Bahkan kadang merasa kehilangan. Padahal itu bukan urusan saya — apalagi Anda.
TAK MUDAH MENJADI ORANGTUA
tetesan air untuk becermin
“Mana putra Ibu? Dia yang ngempeskan ban truk saya!” kata serdadu itu.
Pagi ini dia seperti datang lagi. Tapi saya tak bersembunyi di balik pintu seperti dulu. Juga tak ada Ibu yang melindungi saya pagi ini.
Saat itu saya belum dikirim ke TK. Sendirian jongkok di samping truk militer bikinan Rusia yang parkir dekat rumah. Saya tekankan telunjuk pada pentil ban. Cezzzz…. Angin keluar. Saya ulang. Ulang. Dan ulangi. Cezzz, cezzz, cezzzzzzzz…
Saya raih tangkai kelengkeng. Saya tancapkan ke dop ban. Cezzzzzzzzzz….. Angin keluar tiada henti. Mengasyikkan. Tapi akhirnya saya bosan juga. Lalu saya tinggal. Pulang ke rumah. Makan siang. Selesai makan menggambar. Kemudian datanglah serdadu itu.
Pagi ini Pak Pendeta seperti hadir lagi. Berpamitan di teras, “Nyuwun pareng, Mbakyu.” Gegas langkahnya terhenti. Pitmontor udhug, kalau tak salah merek Jawa, sudah terguling.
Bukan niat saya untuk menggulingkannya. Saya tadi hanya ingin menaiki, bersama kakak saya. Tubuh-tubuh kecil kami belum dapat menjaga kesimbangan sepeda motor yang hanya didirikan dengan penyangga samping.
Hanya sekelebat Pak Pendeta hadir. Lalu datang Oom D pagi ini. Dengan amarah. Ada grafiti di tembok kantor yang sekaligus pondokan gratisnya. Saya, masih kelas satu SD, menorehkan tulisan karena didikte anak-anak yang jauh lebih besar, ada yang sudah SMP.
Mereka sedang jengkel terhadap Oom D, lantas mendapatkan bocah untuk dibombong dan dijerumuskan dalam permainan lempar bola sembunyi raket.
Sayalah yang memetik hasil. Dari publikasi tulisan pertama saya. Dilabrak ke rumah. Orangtua malu dan marah. Ketika tubuh saya sangat kesakitan, Oom D yang dari tadi menonton itu tertawa puas seperti penjahat dalam film tersulih suara. Tawanya tak wajar tapi menyakitkan.
Publikasi kedua berupa poster: “Di sini jual Nalo“. Hanya meniru tetangga. Saya sedang merasakan asyiknya menulis karena baru mengenal huruf. Bapak merasa dipermalukan, tapi hanya tertawa geli.
Pagi ini sakit di paha saya akibat cambukan muncul lagi. Ada bilur memanjang, tinggalan ujung pecut kusir dokar yang menyabet ke belakang tanpa menoleh.
Dia tahu, jika dokar berat di belakang berarti ada bocah nggandul. Sekali peringatan tak diindahkan, cambuk pun bicara. Dalam sekejap dokar pun berkurang beban. Bocah kecil terduduk di pinggir jalan. Meringis menahan perih.
Sekarang saya sudah jadi orang tua dan orangtua. Ternyata tak mudah.
Burung, atau pesawat, dari kertas itu melayang. Hasil buatan sendiri. Terbang tinggi. Berputar dalam manuver cantik. Lalu turun, menyambar kening sopir oplet Salatiga-Banyubiru yang sedang melaju di depan rumah.
“Putra Ibu barusan melempar mata saya dengan batu,” katanya, sore itu, setelah turun dari mobil. Orang dewasa ternyata pintar memelintir fakta.
Pagi ini, ya masih gelap, terbayang kesilauan (Si)Wo Ilah suatu siang. Dia pemilik warung dekat rumah, di seberang jalan.
Beberapa kali Wo Ilah gagal membuka setoples saat melayani pembeli. Matanya terbutakan oleh pantulan matahari yang disorotkan oleh sebuah cermin dari sebuah teras rumah. Cermin di tangan saya.
Masa kecil yang terisi aib. Sebagian dilakukan sendirian tanpa teman, tanpa larut dalam arus hura-hura sesaat. Bagaimana jika anak-anak saya mengulanginya? Tak mudah menjadi orangtua. Harus siap menanggung ulah.
DUNIA ANAK, DUNIA RIANG DAN KETIKA BANJIR DATANG
Sepotong soal ulangan PMP untuk SD pada abad lalu. Mengisi titik-titik. Bunyi soal: “Jika banjir, maka anak-anak….”
Keponakan saya menjawab: “senang”. Ternyata menurut gurunya jawaban itu salah. Keponakan saya menjawab berdasarkan apa yang sering dia lihat di TV: anak-anak yang riang bermain dalam genangan banjir.
Jawaban sesuai buku kunci adalah “anak-anak susah”. Yah, penyusun soal dan buku pelajaran tak salah. Memang ada kesusahan dalam musibah, sehingga layak dicontohkan untuk menggugah kepedulian. Sayang, orang-orang dewasa kurang hirau faset kehidupan.
Namanya juga bocah, di lokasi tertentu mereka bosan kalau hanya diam menunggu air menyurut. Itu pula sisi minat insani yang ditangkap lensa fotografer koran dan kamerawan TV: dunia anak adalah dunia main. Air cokelat bukan soal. Gatal-gatal itu risiko.
Ketika jalan depan rumah menjadi kali, tapi untunglah airnya tak bertamu ke rumah, anak-anak saya biarkan kĂªcèh (bermain air). Mereka senang. Kalau ibunya pergi ngantor, berarti bapaknya membolehkan mereka berbasah-basah.
Saat itu, untuk kesekian kalinya, ibu saya menelepon dari Yogya, menanyakan kabar kami. “Bocah-bocah piyĂ©?” tanyanya. Saya jawab, mereka sedang kĂªcèh genangan banjir. Ibu saya tertawa, “Kayak kamu dulu, kalau hujan pasti buka pakaian, keluar, berlarian…”
Dulu di Sinoman, Salatiga, semasa saya bocah, pada suatu sore yang berhujan deras, saya berbasah-basah menikmati guyuran dari langit. Halaman rumah dan gang samping tertutup air cokelat sekitar semata kaki. Asyik. Tapi saya lupa bahwa pagi sebelumnya tukang barusan menyelesaikan pembuatan jugangan (lubang galian untuk membakar sampah). Lubang baru itu tertutup air. Saya melintas. Dan jegurrr… air cokelat sudah seleher.
BAIK DAN BURUK, ORANGTUA PUN MASIH BELAJAR
Akhirnya si bungsu Raras penasaran juga, “Ini mainnya gimana?” Day, si kakak, setelah balablabla, bilang, “Gini, Dik. Kamu tinggal pilih, mau jadi bandit atau orang baik. Kalo suka ama bandit bonusnya lebih gede. Tapi kalo mau jadi orang bak, ngebelain petani, dapet bonusnya susah.”
Uh, ajaran gombal mana ini? Kok realistik dan membumi banget sih?
Walah, ternyata dari game lawas Day, yaitu Battle Realms. Dia memang menyukai games lama macam itu, termasuk Shogun: Total War, terlebih setelah membaca Taiko. Saya tak telaten memainkannya, karena saya memang bukan gamer. Main Zuma pun selalu kalah skor dari istri saya.
Saya yang sedari tadi cuma mendengarkan sambil ngopi, akhirnya mendekati mereka. Saya tanya Day, dia suka peran yang mana. Ternyata dia ambil keduanya. Kadang pro terhadap marga Ular (bandit), lain waktu promarga Naga (orang baik).
Selebihnya saya lebih suka menanggap, bukan memberi pesan atau pengarahan. Biarlah kali ini mereka menemukan kawicaksanan sendiri dari games tanpa harus — dan sebaiknya jangan sampai — berguru kepada Ndoro Wicaksono.
Anak belajar dari yang dilihatnya saban hari, dari orangtuanya yang tiap tidak enak badan sedikit pasti membolos (tapi bisa jemput anak lalu pergi ke mal) sampai teman-temannya yang nyontek (dan dapat nilai bagus).
Kapan dan bagaimana menyisipkan pesan yang diyakininya bersumberkan “nurani” (padahal belum tentu; hanya pensiunan jenderal yang tahu), setiap orangtua punya cara sendiri.
Anak belajar dari yang dilihat dan dialami. Melihat ayahnya selalu menyetir dengan memotong garis lurus, melanggar lampu merah, dan melintasi bahu jalan tol, anak akan mendapatkan bukunya sendiri.
Bagaimana bisa mengajari anak berterima kasih kepada pembantu jika orangtua ternyata tak melakukannya? Bagaimana meminta anak meminta maaf setiap kali bersalah jika orangtua enggan mengucapkan hal yang sama?
Lebih mudah — dan lebih enak — bikin anak (ups! maaf…) ketimbang mengurusi dan mendidik mereka setelah lahir.
Maka inilah yang dilakukan seorang ayah ketika mendengar gadisnya yang sudah remaja spontan mengomentari ceritanya dengan kata “anjrit!”
Dia tak memarahi. Hanya memberi pengertian bahwa kata yang berasal dari “anjing!” itu kurang sopan untuk diucapkan, kecuali terhadap sesama teman, dala situasi khusus.
Tentu pemaparannya disertai embel-embel kisah berbau psiko-sosiolinguistik: dulu kata “busyet!” pun dianggap tak pantas, tapi akhirnya masuk ke acara TV. Lain waktu si ayah mungkin akan menjelaskan kata “jancuk” atau “diancuk”…
Mengajarkan yang baik dan buruk bukan soal gampang, karena orangtua pun terus belajar. Celakanya, yang buruk itu lebih gampang dan, ehm…, lebih enak. Ah paragraf ini cuma copy and paste dari pendeta dan dai. Maaf.
CINTA KANDAS LANTARAN PAK POS.
Di rumah yang sekarang, kotak surat saya nganggur. Pengisi lama, misalnya loper koran dan pembagi brosur toko, tetap main lempar. Mereka malas turun dari sepeda atau motornya.
Bagaimana dengan Pak Pos? Makin jarang tukang pos datang. Surat-surat rutin diantar oleh kurir yang meminta tanda terima.
Dulu, waktu masih bocah, saya menugasi diri untuk memeriksa kotak surat yang setiap hari terisi oleh kiriman buat Bapak. Isinya surat, majalah, koran (via pos), brosur dan segala barang cetakan. Hanya pengantar surat kilat khusus dan paket yang memencet bel untuk dilayani.
Dulu setiap hari ada surat karena belum ada e-mail dan SMS. Saking seringnya, kantor pos selalu bisa menyampaikan surat untuk Bapak meskipun alamatnya salah, bahkan tanpa alamat. Menjelang Natal adalah saat kotak surat cepat penuh.
Kemarin pagi, ketika melewati sebuah rumah baru yang desainnya oke, saya dan istri saya terkesan oleh satu hal. Ada kotak surat. Masih baru. Tapi posisinya tinggi banget. Hanya orang setinggi 170 cm ke atas yang tangannya bisa menggapai mulut kotak untuk mencemplungkan surat.
Agaknya si pemilik rumah sedang menggelar humor untuk publik. Ditaruh rendah, sesuai antropometri rata-rata orang Indonesia, toh tak akan mengundang pencemplungan. Lebih baik ditaruh tinggi sekalian. Bukankah sekarang zamannya main lempar kiriman? Bila perlu tabung gas dan galon air minum pun dilemparkan. :D
Kantor-kantor pos di kota besar mulai menyepi. Kantor Besar di Pasar Baru Jakarta tak membuka loket pada Sabtu dan Minggu. Kantor pos setingkat cabang di dekat saya tak buka sore hari. Jangan-jangan sekarang ini orang butuh kantor pos (dan prangko) hanya untuk mengirim surat lamaran pekerjaan dan kartu pos kuis.
Siang ini saya baca e-mail. Berisi ucapan terima kasih atas kartu yang saya kirimkan menjelang Lebaran. Si penerima mengucap salut, menganggap saya bikin terobosan, mengirim kartu Lebaran sekaligus kartu ucapan Idul Adha.
Ah masih lebih untung saya bila dibanding seorang cowok dalam komik Lucky Luke. Dia mengirim surat cinta untuk cewek pujaan, pada era go west di Amrik yang belum mengenal “kawat bernyanyi”. Bertahun-tahun kemudian surat baru sampai, diterima oleh anak dari si cewek impian. “Mama ada surat…!”
Kasih tak sampai lantaran keterbatasan Kantor Pos…
Aku Rela Disalahkan…
Siaran TV bekerja dengan gelombang apa: longitudinal, transversal, elektrolit, atau elektromagnetik? Itulah pertanyaan dalam buku IPS untuk anak kelas 4 SD. Siang ini anak saya harus mengebut lima halaman soal, yang diberikan Sabtu kemarin. Anehnya semuanya belum diajarkan.
Inilah yang namanya pekerjaan rumah: seisi rumah harus terlibat. Akhir pekan anak tak dapat bersantai. Kalau diajak pergi, padahal PR belum beres, dia akan gelisah.
Keponakan saya pernah bersekolah di negeri maju. PR untuk sepekan ya cuma sehalaman kuarto. Pelajaran kelas 4 di sini, termasuk matematika, adalah pelajaran untuk kelas 6 di sana.
Pulang ke Indonesia, dia menjadi “bodoh” karena tertinggal. Anehnya, meskipun kurikula persekolahan lebih berat, Indonesia tak kunjung menjadi negara yang lebih maju. Anak-anak kita sebaiknya diperiksa ahli tulang karena ransel hariannya berat.
Kembali ke PR anak saya Raras. Dari sebuah skema bergambar bumi dan satelit, anak diminta menjelaskan proses teknis. Terbukti, saya memang manusia Indonesia lawas: ketinggalan zaman. Saya menganggap pelajaran macam itu — dari transmisi faksimile, selular, sampai uplink dan downlink — mestinya bagian dari IPA, bukan IPS.
Dalam pengandaian saya IPS mestinya mengajarkan apa keunggulan dan kekurangan kentongan, telepon, faksimile, dan internet dalam kehidupan. Dalam pengandaian ekstrem saya, apa itu binatang bernama backbone biarlah menjadi bagian dari pelajaran lain.
PR adalah pekerjaan rumah. Artinya ayah harus terlibat, bukan cuma berbagi bekal kognitif tapi ada yang lebih penting lagi: memahami apa itu pendidikan.
Saya membantu anak saya sambil ngedumel ke istri saya, “Materi belum diajarkan dijadiin PR. Udah gitu yang mestinya IPA dijadiin IPS.”
Anak saya cuma menarik napas, “Iya tuh.” Dia tak menjadi bersemangat untuk menyalahkan guru dan sekolah — sebuah peluang yang mungkin akan saya sambar saat saya bocah, karena diberi angin bahkan dukungan oleh orangtua.
Soal skema satelit tadi saya lompati, agar Raras mengerjakan nomor berikutnya. Setelah nomor terakhir cuma soal satelit itu, saya diam sebentar untuk merumuskan kalimat yang sederhana sesuai anak SD. Menyampaikankan hal sulit secara sederhana, termasuk ihwal iptek, yang jargon-free, itu bukan pekerjaan gampang (bagi saya).
Selagi saya merancang kalimat, Raras bilang, “Kalo nggak bisa nggak apa-apa kok, Pak. Aku rela disalahin.”
Saya terharu. Sorot mata korban kurikulum itu begitu polosnya, tanpa mata berkaca-kaca.
Setelah dia kembali ke kamarnya, saya mengajak istri saya mendiskusikan hal tadi. Bukan cuma mengapa soal IPA ada di IPS, juga bukan hanya mengapa materi belum diajarkan sudah di-PR-kan, melainkan soal yang lebih mendasar: bijaksanakah orangtua ngedumel soal sekolah dan guru di depan anak?
Para guru juga merupakan korban dari kurikula.
APA BOLEH BUAT: BELI, PASANG, WAS-WAS
Sepintas bentuknya mirip MP3 player abal-abal. Tapi lingkaran di tengah itu cuma bisa ditekan di bagian tengah. Keluar suara? Pasti. Hanya saja suaranya di lain tempat. Berisi belasan lagu, termasuk assalamuailaikum.
Betul, itu cuma kotak tombol bel nirkabel. Tidak istimewa. Murah pula. Mereknya ngeledek: Idealife. Tapi mau tak mau saya harus membelinya karena butuh.
Setelah terbeli, dua minggu alat itu nganggur. Tak kunjung terpasang. Tapi tadi terpaksa saya pasang karena seorang tamu mengucap permisi dengan berseru di pagar, “Hoii…! Di mana belnya?!”
bel tingtongSeperti pernah saya ceritakan di blog lama, bel bagi saya adalah masalah. Selalu rusak. Tepatnya: tombolnya yang rusak. Penyebabnya: ulah anak-anak iseng. Itulah sebabnya beberapa tetangga tak mau pasang bel lagi.
Bagaimana kalau tombol itu nanti rusak lagi? Tenang. Dalam paket ada dua tombol. Yang satu buat cadangan — maunya produsen sih buat dikantongi. Kalau cadangan itu rusak atau raib? Nasib.
CARA PERSONAL DALAM MENGURUSI BUKU.
Karcis tol. Setruk kedai kopi. Tiket bioskop. Karton label baju. Gerènjèng (kertas perak) bungkus rokok. Sachet gula atau creamer. Potongan iklan buku. Sobekan notes anak. Dan entah apa lagi (selain setruk toko buku), semuanya bisa menjadi pembatas halaman buku saya. Saya ingin tahu apa pembatas halaman Anda selain melipat ujung halaman menjadi dog’s ear.
Memang, ini soal sepele — sama seperti isi blog ini. Pembatas halaman tak ada hubungannya dengan isi buku maupun penilaian kita terhadap isi. Ini semata soal fungsional, sebagai penanda kita sampai di mana, tanpa repot mengingat nomor halaman.
bookmark
Semata fungsional? Eh nggak juga sih. Ada sisi sentimentalnya juga kok.
Ada lagi kebiasaan saya, dan yang ini saya tularkan ke anak saya. Yaitu melepaskan label harga dari plastik pembungkus, lantas dipindahkan ke sampul belakang buku.
buku habibie: detik-detik yang menentukan
Kadang berhasil, kadang tidak. Umumnya label harga (terutama yang tanpa barcode) memang tersayat agar konsumen tak menukar harga semaunya. Kalau dilepas, label akan robek.
bookmarkBuat apa memasang label harga? Supaya tahu harga buku. Sepuluh tahun mendatang, apa lagi jika lebih lama lagi, kita akan tahu perjalanan nilai rupiah dan pergerakan harga buku. Supaya ingat bahwa buku tertentu kadang dibeli dengan darah, keringat, dan air mata. Pokoknya bersakit-sakit ke hulu sampai kemudian ketemu rakit.
Soal kenangan terhadap harga ini saya pelajari dari buku-buku bapak saya. Dulu belum zaman label apa lagi barcode. Harga buku cuma berupa coretan pensil di halaman depan — alangkah malangnya petugas yang menulisi, serasa mendapat hukuman menulis hal yang sama ratusan kali.
Ada buku versi cetakan pertama, tahun 80-an, yang cuma berharga Rp 1.750, tapi cetakan mutakhirnya, tahun 2000-an, sudah menjadi delapan kali lipat.
Menariknya lagi, dalam buku-buku Bapak kadang ada bon toko dengan tulisan tangan hasil tindasan karbon. Ada nama dan alamat toko bukunya (yang mungkin sudah ganti logo, pindah alamat, atau bangkrut), dan ada pula keterangan buku apa saja yang dibeli bersamaan dengan buku itu.
bookmarkDi Bogor ada toko buku lawas. Namanya Politeia (masih ada nggak?). Buku-bukunya “lama tapi baru”. Maksud saya, yang dijual bukan buku bekas, melainkan buku lama yang tak kunjung laku. Harganya juga harga lama. Buku tahun 70-an ya dihargai sesuai zamannya. Misalnya Rp 415. Waktu krismon saya memborongnya.
Teman saya yang cerpenis aneh itu, setelah saya kasih tahu, ngelurug ke Bogor untuk memuaskan nafsu kemaruknya. Di toko itu ada buku karya ayahnya, profesor tamatan MIT yang eksentrik itu, dengan harga lama.
Pentingkah itu? Nggak. Tapi bagi saya menyenangkan. Rasanya setiap buku punya riwayat — begitu pula pembatas halamannya. Apa lagi kadang dalam tanda tangan buku saya cantumkan “Karisma MTA” atau “Gunung Agung Klp Gdng”, “Aksara Citos”, “Stasiun Gambir”, “TB Kukuh Subardi Salatiga”, atau… “obralan di Palmerah” :D.
Apakah semua buku saya berpembatas dan berlabel? Belakangan ini tidak. Saya mulai pikun. Mulai bertambah jumlah buku yang tanpa catatan kapan belinya.
Akan halnya buku hadiah, apa lagi bila ada coretan dari pemberi, ah… itu sangat berharga. Silakan kalau Anda mau mau menghadiahi saya. :D
MANUSIA TANGGUNG TAK RASAKAN KEHADIRAN REMBULAN.
Pet! Tiba-tiba gelap. Tadi malam itu, pukul sebelas, selagi menjelajahi blog, tiba-tiba lampu padam. Gelap. Di luar juga. Rumah lain juga padam. Saya menengok ke luar. Listrik sekompleks padam semua.
Kedipan indikator ponsel menjadi penyelamat. Saya raih benda itu. Saya pijit sembarang tombol agar LCD-nya menyala. Sejauh saya tahu, produsen ponsel tak pernah mengiklankan fungsi ekstra barangnya sebagai lentera. Eh ada sih, tapi untuk suar selagi dugem. Goyangan handset akan menghasilkan efek warna. Selebihnya, apapun merek dan tipenya, ponsel menjadi pengganti korek api untuk memanggil waitress.
Lumayan, ponsel lawas itu bisa membimbing saya untuk mengambil Maglite Mini dalam ransel. Seterusnya adalah menemukan senter besar yang meredup, menyalakan lilin, memeriksa kamar anak-anak (dan kamar ibunya). Semua masih tertidur pulas.
Berikutnya saya menenangkan kedua anjing saya. Lantas saya keluar. Menyalakan sentolop mungil itu. Tumben tak ada sahutan dari senter lain. Senin malam tadi rupanya saat yang melelahkan, tetangga sudah pada tidur. Beberapa rumah tetap gulita.
mati lampu gerobak bakmi melintas
Ketika gerobak bakmi melintas, petromaksnya menerangi sekitar. Ada rasa senang sekilas. Setelah itu kembali gelap dan senyap. Oh tidak, saya ralat. Tak terlalu gelap pekat. Ada rembulan.
Yah inilah manusia tanggung, tak pernah peka terhadap kehadiran rembulan. Hanya dalam gelap Candra terasa.
Saat itu saya membatin, kapan terakhir kali berkemah? Kapan terakhir membelah malam dengan berjalan kaki, bersepeda, maupun bersepeda motor, hanya diterangi rembulan?
Alangkah jauhnya usia berjalan, semua kenangan serasa di ujung belakang. Petak-umpet saat purnama seakan belum pernah saya alami. Tapi ditonjok sampai KO, selagi kelas dua SD, di bawah purnama, masih saya ingat.
mati lampuTentu tadi malam saya juga ingat bahwa siangnya saya ke kantor PLN dan di mana-mana melihat slogan “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”.
Listrik padam menjelang tengah malam sampai dini hari bisa mengantarkan saya pada lamunan melankolis. Sangat personal, sekaligus dangkal. Jangan dibandingkan dengan malam-malam gelap korban tsunami dan gempa bumi. Jangan dibandingkan dengan mereka yang terapung di laut lalu terdampar di hutan bakau setelah kapalnya karam. Jangan dibandingkan dengan New York saat blackout, yang diisi penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Tadi malam itu tak ada rasa was-was. Apa lagi setelah listrik kembali menyala.
WAKTU ORANGTUA UNTUK ANAK, ALANGKAH TERBATASNYA…
Seorang ibu, aktris dan pebisnis yang perpustakaan pribadinya hebat, pernah menasihati begini waktu saya muda: “Selagi anak masih kecil dan selalu minta dekat, turutin aja. Kalo dia minta dipangku, kita pangku. Kalo dia minta gendong dan kita kuat, ya gendong aja. Kalo sudah besar dia kita ajak malah menolak, menjauh dari kita.”
Dulu ke mana pun ibu itu pergi, termasuk syuting, anak-anaknya ikut. Mereka, katanya, jadi lebih tahu apa yang dilakukan ibunya yang orangtua tunggal itu.
Maka pada suatu malam di sebuah salon yang mulai menyepi seorang bocah kelas empat SD mengerjakan PR-nya. Itu imbalan terhadap rengekan penuh sesenggukan untuk ikut bapak dan ibunya.
Contoh klise dari latar klise sih. Kota-kota besar menjadikan sebagian orangtua kurang waktu untuk anak. Kesibukan dan terutama jarak serta kemacetan menjadikan hari buat keluarga itu sebuah acara khusus.
Tak sedikit bapak dan ibu yang berangkat pagi mendahului anak, tapi pulangnya setelah anak memeluk guling.
Barangkali benar juga alasan beberapa wanita yang tak berani punya anak karena sadar takkan bisa memberikan waktu untuk buah hati.
Ada juga wanita yang memutuskan bekerja di rumah agar selalu dekat dengan anak. Boleh juga sebaliknya: suami menjalankan peran domestik, istri kerja di luar.
Bagaimana dengan gadis kecil itu? PR-nya beres. Tapi belajar di meja rias jelas penuh godaan. Cermin selalu memanggilnya
Gembok Pengerangkeng Hati
Saya geli sekaligus sedih setiap kali mendapati barang dikerangkeng dan digembok. Seperti boks sentral telepon di Jakarta Barat dan lampu sorot sebuah distro Jakarta Selatan ini.
Geli karena lucu, gitu aja kok dikandangkan — memangnya yang dikerangkeng galak? Sedih karena ada yang tak beres di negeri ini.
Kesenjangan begitu melebar, pengangguran dan si miskin tak diurus oleh negara, apa saja bisa dijadikan uang. Untuk kaum begajulan tanpa modal, apa saja bisa bisa untuk membeli air api dan daun surga.
Lebih sedih lagi, tapi tanpa rasa geli, kalau membayangkan itu terjadi pada diri sendiri. Duit tak ada, padahal anak menagih uang buku, istri meminta angsuran sewa rumah, apapun (mungkin) akan saya lakukan untuk mendapatkan uang.
gembok di rumah sayaKembali kepada gembok. Saya ikuti anjuran tetangga yang punya pengalaman buruk dan tukang yang mudah mengendus peluang kejahatan. Maka jalinan besi penutup parit kecil di depan rumah pun saya gembok.
Taruh kata saya punya uang, tapi jika besi diambil orang tetap saja merepotkan. Malam hari atau pagi buta mencari papan titian bukan perkara mudah. Apalagi kalau saya kurang uang, kan? Duit semeter, seperti difitnahkan oleh Pakde Polonjebluk, hanya terwujud dengan merangkai uang seribuan (rupiah) secara horizontal.
Kepada anak saya katakan, yah beginilah negeri kita: apapun bisa diuangkan, termasuk penutup parit.
Tapi barangkali soalnya ada pada hati kita. Kerelaan bukanlah soal gampang untuk setiap orang. Gembok itu adalah cerminan bahwa saya masih belum mudah berlapang hati dalam urusan duniawi. Harga bukan nggak seberapa, tapi kesal hati sudah pasti tak terkira — misalkan penutup itu hilang.
Ah, terlalu panjang alasan itu. Bagi pelintas dan calon pengambil cuma ada dua kata: “Dasar kikir!”
Saya juga punya dua kata: “Suka-suka!”
Tapi nanti dulu. Di blok lain saya dapati ada warga yang menempuh cara cerdas lagi santun. Penutup parit diberi engsel. Mudah membersihkan parit, tutup tak digondol orang.
Sayang, saya tahunya telat. Mau mencontek sudah kadung — tepatnya: sayang uang. Tak apalah dianggap kurang cerdas dan kurang santun,
Eh tapi, hehehe, di tempat lain ada juga yang sudah diberi engsel masih digembok pula. Mendingan saya, cuma pasang gembok.
Blog ini bukan Halaman Jurnalistik
NGEBLOG, BAHKAN YANG CENGENGESAN, TETAP BERISIKO.
Saya bisa meliput dan menulis, pernah dimuat di sejumlah media, dan saya mendapatkan uang dari situ. Baik sebagai honorarium saat saya masih freelancer maupun sebagai gaji imbalan untuk pegawai karena bekerja di perusahaan media. Lebih penting lagi: kadang saya mendapatkan keasyikan.
Lantas bagaimana dengan blog ini? Tetap sebuah jurnal pribadi, lengkap dengan segala tanggung jawab saya, disertai (kemungkinan) ganjalan etis maupun moral, komplet dengan ranjau hukum yang mungkin saya hadapi sebagai warga negara.
Halah, serius amat sih? Barusan ikut penataran? Biasa ngeblog cengengesan kok tiba-tiba ceramah?
Soal blog ini memang ada sisi seriusnya, terutama pada proses dan hasilnya, dan itu bisa menimpa semua bloggers.
Bukan sekadar laporan
Mari, mulai dari sisi yang paling ringan. Taruh kata saya melaporkan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan di Pasar Cikini, Jakarta Pusat, seperti termuat di kontrakan lama. Saya bagikan kepada semua pembaca blog, melalui tulisan dan gambar.
Asyik dong? Bagi saya iya. Bagi sebagian pembaca juga. Tapi itu bukan sebuah laporan jurnalistik. Itu seperti surat terbuka untuk sejumlah kawan, yang bisa diintip semua orang. Khas eksibisionis, begitulah.
Jika yang saya lakukan adalah pekerjaan jurnalistik, maka prosesnya juga harus sesuai standar jurnalistik. Mau mainstream media atau bukan, ketika saya menanyai bahkan memotreti narasumber di pasar maka saya harus memperkenalkan diri, lalu menjelaskan maksud saya menanyakan ini-itu dan memotreti sana-sini.
Tentu di dalam paket dan perkenalan merangkap penjelasan maksud itu sudah termasuk info tentang media pribadi saya, yaitu blogombal.
Kalau narasumber tak paham apa itu blog, saya harus menjelaskan blog dengan bahasa yang dia mengerti, bahkan bila perlu setelah laporan saya ter-online-kan maka saya harus mencetakkan halaman web itu dan menunjukkannya.
Ngapain repot?
“Wah, nggak asyik!” kata Anda. “Kalo banyak batasan, hasil kupingan dan intipan nggak bakalan lancar tertayang,” kata Anda.
Nanti dulu, sabar. Kalau yang saya lakukan adalah pekerjaan jurnalistik, maka saya harus menanyakan kebenaran hasil kupingan maupun obrolan (bukan wawancara), bahkan hasil jepretan colongan (ini nih yang asyik), kepada pihak yang tepat, dan menghormati hak mereka untuk menyangkal.
Tanpa proses itu saya tak beda dari penguping, reserse, intel, dan penyebar fitnah — bahkan bisa menjadi penyiar rahasia keamanan negara (misalnya lokasi persis rudal yang dibiayai rakyat di kompleks industri strategis) dan etika peradilan (kasus susila dan sidang anak).
“Ah, udahlah. Nggak fun nih. Ngeblog ya ngeblog, jurnalistik ya jurnalistik. Napa sih sok repot? Yang penting kan kita nggak bo’ong, nggak ngarang, semuanya faktual, ada bukti foto, eksklusif lagi!” begitu mungkin kata Anda. Betul. Boleh. Tapi silakan melanjutkan baca…
Kalau di pasar ada pencopet tertangkap dan dipukuli, masa sih saya harus menyeruak, “Perkenalkan, saya Paman Tyo, dari blogombal, mau memotret dan melaporkan. Yang disebut blog adalah…”
Saya selesai menjelaskan si copet sudah bonyok bahkan mati. Bahkan saya mungkin sudah linglung gegar otak di sebelahnya akibat pukulan massa(l).
Kalau blog ini adalah sebuah halaman jurnalistik maka saya bisa saja langsung memotret pengeroyokan itu. Mengamati keberlangsungannya. Stop dulu: ini pun masalah moral, bukannya menghentikan malah mengabadikan acara main hakim sendiri — tapi ini buat diskusi lain kali.
Setelah itu saya harus mengumpulkan keterangan dari pengeroyok, saksi, polisi, dan sebisa-bisanya si pencopet itu. Setelah itu saya tulis, lantas klik, online. Blog (jurnalistik) telah terbarui.
Walah, repot bener. Nggak asyik. Telat. Kalah cepat sama media arus besar yang punya pasukan untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi. Memang.
Risiko pahit
Uh, mulai nggak menghibur nih. Bagaimana kalau demi keamanan pribadi, karena kita berada dalam represi penguasa atau ancaman preman yang ditoleransi oleh penegak hukum? Masa sih harus terang-terangan? Sudah tanpa nama alias, masih konfirmasi ke sana-sini pula sebelum online?
Apa boleh buat, kalau sebuah blog memang diniatkan menjadi halaman jurnalistik — dengan penerbit, peliput, fotografer/kameraman dan editor ada pada satu orang, tapi semuanya (seolah) terlembagakan — maka prosedur tadi harus ditempuh, dengan sejumlah risiko.
Uh, sok heroik! Emang berani dipukulin? Nggak. Sakit itu. Nggak ada yang mau.
Eh, entar dulu. Masih ada soal lain. Klarifikasi dari pihak tertentu, kesanggupan saya meralat dan meminta maaf, bayar ganti rugi dan denda, dan seterusnya yang akan panjang kalau ditulis di sini.
Mau lebih rumit dan berat juga ada: jika keyakinan ngeblog jurnalistik saya — dengan atau tanpa investor — mewajibkan saya melindungi sumber berita maka risikonya ada pada saya.
Selalu ada ranjau
Jadi, gimana dong? Setelah bertele-tele, dan memutar sana-sini, maka saya cuma menyatakan bahwa ngeblog njurnalistik itu tidak gampang. Bahkan ngeblog tanpa niat jurnalistik pun tetap berkemungkinan tersandung perkara. Dengan catatan: tersandung belum tentu kita yang bersalah.
Blog ini, ya blogombal ini, tetap sebuah halaman suka-suka. Bukan halaman jurnalistik di web. Bukan blog tentang jurnalisme.
Meskipun halaman suka-suka, risiko tetap ada. Manajer TI kantor saya berhak menutup akses saya ke hosting karena yang saya lakukan — ya: ngeblog — tak termasuk dalam uraian pekerjaan saya. Artinya sama bersalahnya dengan saya menggunakan internet kantor untuk mengunduh gambar dewasa dan menggunakan jam produktif untuk chatting, bahkan untuk transfer duit, sudah begitu sering mengeluhkan kuota bandwidth pula.
Bahkan sebagai blog, tulisan ini tak memenuhi standar. Tiada tautan dengan rujukan tertentu, bahkan untuk kata “blog” dan “jurnalistik”, “journalist”, “jurnalisme”, “journalism” — apalagi untuk kasus blogger Amrik yang lagi hangat maupun blogger top peliput (pe)perang(an).
Dalam ngeblog, jika menyangkut pihak lain, maka ranjau selalu ada. Ini seperti Anda menyemprotkan Pylox (merek nih) ke tembok pagar saya “botak tua jelek!”
Faktual, sih. Meyakinkan, takkan terbantahkan. Tapi saya berhak memerkarakan Anda karena telah mengganggu properti saya dan melakukan tindakan tidak menyenangkan — bukan isi pernyataan Anda — apalagi jika Pylox-nya punya saya.
Lah lahhhh…, berat juga ya ngeblog, padahal niatnya kan suka-suka? Keliru menyebut nama latin kucing gerong bakal dikoreksi sambil dihina sebagai goblok. Menyalin jepretan orang dibilang nyolong.
Lebih sial lagi, jika saya tersandung urusan legal akibat ngeblogombal, maka juragan saya tak berkewajiban menyediakan pengacara, tak perlu terlebih dahulu meminta ombudsman untuk melakukan pemeriksaan internal. Sama seperti kalau saya naik sepeda menabrak bocah, padahal di luar tugas, maka urusan saya tanggung sendiri.
Kebebasan berpendapat dan takaran risiko
Jadi? Hmmm… gimana ya enaknya? Kalau mau aman, semuanya dibatin saja. Jangan diucapkan, jangan dituliskan, apalagi dipublikasikan… :D Tapi layanan blog buat apa, coba? Ya buat nggombal karena nggombal adalah bagian dari kebebasan menyatakan pendapat.
Tapi mau blog jurnalistik atau blog cengengesan, jika (misalkan) sebagian (kecil) pembacanya, juga satu-dua media resmi, pada percaya bahkan memanfaatkan (minimal mengilhami), terus bagaimana?
Lah lah…, ruwet lagi. Balik lagi ke atas, paragraf demi paragraf. Kalau belum ketemu berarti kita diskusi soal lagi — dengan catatan kalau ada waktu dan mood kita cocok.
Kalau mau digampangkan sih jawabannya ini: sejauh apa si blogger, eh saya, sanggup bertanggung jawab. Anda benar, kalimat barusan itu klise dan tak menjelaskan apapun.
Saya sudah capek mengetik ini. Sudah hampir meneruskan “kepada siapa tanggung jawab blogger setelah kepada dirinya sendiri: masyarakat pembaca, negara, atau…?” Tapi capek. Gombal kan?
Yang baca aja capek apalagi yang nulis. Lagi pula saya mau ketemu orang.
Penyanyinya, bukan Lagunya
KITA KADANG TERPUKAU OLEH SIAPA, BUKAN APA. BAGAIMANA DENGAN BLOG?
Dua fotografer kondang menganggap pencantuman nama pewarta foto dalam karya akan membantu penilaian. Sebagai juri mereka akan lebih terbantu untuk memahami apalah sebuah sudut bidik itu sengaja atau bukan.
Maaf, itu tadi penyimpulan yang bisa saja salah. Saya membacanya dalam sebuah milis. Salah satu posting mengungkapkan rencana penjurian sejumlah karya jurnalistik. Di ada sana cuplikan kalimat yang tak saya pahami latarnya secara utuh, sehingga bisa saja saya salah tafsir.
Tentu, dua juri bereputasi bagus itu tak hendak mengatakan bahwa nama pewarta foto menentukan perolehan nilai. Saya memercayai profesionalisme mereka.
Tapi saya membatin, enak bener ya kalau punya nama, lebih banyak pintu terbuka untuk mereka. Ini seperti ungkapan bersungut saya kepada teman saya yang penggiat jaringan kerja seni rupa. Perupa tenar boleh ngapain saja atas nama seni kontemporer, tapi orang lain tidak.
Kalau cuma main bungkus dan ikat, lantas karya ditaruh di tempat bagus, dengan pencahayaan bagus, plus katalog bagus, saya juga bisa — padahal saya tak bisa menggambar dan belum pernah sekolah seni rupa.
Teman saya secara santai bilang, “Masalahnya kamu itu siapa?” Kami terbahak bersama.
Memang, masalahnya adalah siapa, bukan apa. Apalagi kalau si “siapa” menyertakan penjelasan konseptual yang memukau.
Adil? Tak adil? Seorang mahasiswa bisa saja bikin artikel bagus, bernalar, dan memukau. Tapi karena jumlah halaman terbatas, editor koran/majalah lebih memilih penulis topik yang sama, yang isinya mungkin belum matang, tapi namanya lebih tenar.
Bisa saja kita mendengingkan kaleng dalam gedung konser dan menyatakan itu sebagai musik. Tapi hak orang lain untuk menagih apakah kita paham teori musik, melek partitur, dan bisa memainkan instrumen yang lumrah dengan benar.
Seorang sastrawan dan eseis pernah bilang, “Tulisan saya dulu juga sering ditolak. Capek.” Tapi ada tambahannya, “Orang-orang nggak tahu, sekarang pun tulisan saya kadang masih ditolak.”
Sungguh ungkapan yang membesarkan hati. Di dunia blog ini saya sering mendapati tulisan bagus, foto bagus, dan desain grafis bagus, karya orang-orang yang tak tenar — atau mungkin tenar tapi menyamar.
Bahwa sebagian dari mereka akhirnya tenar, setidaknya di kalangan bloggers, itu soal lain.
Tentu orang yang skeptis bisa mengritisi secara tepat, “Emang kalo blogger tenar itu jaminan tulisannya bagus? Jangan-jangan cuma kentut dalam wujud kata! Ini soal dia dan blognya kadung punya nama, dan ada satu dua bloggers yang pingin meninggalkan jejak promosional buat blognya.”
Orang sinis adalah pembawa lampu senter. Tapi terang sinarnya kadang tak menyenangkan bagi orang lain karena menyorot sudut-sudut ruang yang tak diinginkan terlihat. Sudut-sudut yang sudah diketahui bersama, bahkan dimaklumi (dan dimaafkan) bersama.
Selamat berakhir pekan. Boleh dong sesekali bikin renungan.
Belantara Informasi yang Menjenuhkan
Tidak hanya saya. Anda juga. Pernah jenuh dengan segala macam terpaan informasi, tapi pada saat yang lain bisa lapar info karena ingin tahu banyak hal? Saya harap Anda mengangguk. Tapi misalkan Anda menggeleng saya pun tak melihatnya.
Ada saat koran bukan teman menyenangkan, cukup saya baca judulnya saja. Begitu pula majalah dan tabloid. Tapi untuk membaca buku kok rasanya seperti didera oleh teks. E-mail, klinong-klinong blog (blogwalking), dan segala sajian internet lainnya, kadang melelahkan, tak mendatangkan kegirangan. Bahkan milis yang saya bangun pun sempat saya tinggalkan.
Bagi saya, itulah saat yang tepat untuk belajar menggambar — tapi hasilnya mengecewakan. Untung ada hal lain yang menyenangkan: mendengarkan radio — terutama stasiun yang pelit lagu, hanya doyan ngoceh dan ngoceh. Kabar saya petik dari sana. Kadang sepenuh dengar, tapi lebih sering sekilas. Ada satu hal yang saya pelajari lagi: belajar mendengar(kan).
Tempo hari saya menyediakan waktu untuk menjelajahi blog. Ternyata saya pusing. Jumlah blog terus bertambah, seolah berbiak dan berbiak. Benak tua saya tak lagi mampu mengingat nama setiap blogger maupun subdomain di tempat blog mereka dipondokkan (inikah salah satu alasan bloggers memakai domain sendiri?). Niat untuk menabur komentar akhirnya mentok padahal jalannya lempang.
Ketika terpaan media terasa memenatkan, ngobrol dengan orang lain menjadi menyenangkan. Mencoba mendengar, berusaha sabar untuk tak menyanggah tukang bakmi, penjual rokok, satpam, sopir angkot, sopir taksi, tukang parkir, eksekutif gondrong dengan banyak gelang, orang pemasaran, orang-orang yang tak jelas apa dan siapanya, wanita asing yang melontarkan ajakan aneh, bocah yang berkhayal bisa menjadi api…
Hari ini saya menulis lagi di blog ini. Semoga begitu pula untuk anak-anak blog.
Tapi untuk siapa saya menulis? Untuk saya, itu pasti. Menulis untuk Anda, mungkin itu sok-sokan saya saja, padahal yang terjadi saya ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan, seolah sedang pidato di depan kerumunan, sambil berharap kerumunan itu tidak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Jadi, apa yang mau saya ceritakan? Saya sendiri tidak tahu. Maaf. Tiba-tiba saya merasa sedang belajar menulis di tingkat pemula.
Celakanya, yang saya tulis pun menjadi bagian dari belantara teks yang mengungkung orang lain. Tapi masa iya sih saya harus jadi Tarzan, hidup di tengah hutan? Mungkin lebih enak jadi Pak Tarsan.
Terima kasih, dan terima jadi, atas kunjungan Anda
Burung Taiko di Rumah
Ternyata saya bukan orang yang ramah dan menyenangkan. Setidaknya untuk burung emprit maupun gereja.
Saya tunggu mereka mendekat, mencloki di atas nomor rumah untuk beol, seperti biasanya. Tapi sampai setengah sembilan pagi, Ahad ini, mereka menjauh. Hanya bertengger di genteng dan kabel PLN yang tersambung ke rumah.
Duduk bersila di teras, cuma sarungan dan beroblong, yang saya lakukan hanya menunggu dan akhirnya menjepret sekenanya. Bukan hanya tidak (atau kurang) ramah, ternyata saya juga tak sabar.
Lantas saya pun teringat laporan Day, putri saya, tadi malam. Serial lama Taiko (Eiji Yoshikawa) sudah tamat dia baca. Saya ingat kesan pertama dia saat memulai baca novel epik atau roman sejarah ini.
Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
Nobunaga menjawab: “Bunuh burung itu!”
Hideyoshi menjawab: “Buat burung itu ingin berkicau.”
Ieyasu menjawab: “Tunggu.”
Dia belum membaca Musashi. Biarlah sampai waktunya nanti tertarik dan sempat. Tapi dari Taiko, dia mendapatkan pelengkap dari game lawas strategi yang disukainya, tentang perang samurai.
Malam ini, ya tadi, saya tanya dia tentang apa yang dia petik dari kasus burung itu. Katanya, beda kepribadian beda cara menangani masalah. Lantas? “Orang yang nggak sabaran, brangasan, biasanya nggak bisa menyelesaikan masalah dengan baik.”
Saya tertawa. Dia juga.
Merindukan Burung Bertandang*
Saya bukan manusia yang ramah bagi burung. Buktinya burung gereja itu tak mau hinggap di jendela. Tak pernah mau. Hanya di kejauhan, di luar jendela, dia hinggap. Sama seperti ketika saya dulu bicara tentang burung dalam Taiko.
Tadi, juga sekarang, selagi saya mengetik, burung itu menclok di lubang angin. Sesaat, tak sampai lima menit, lalu terbang lagi. Dan kembali lagi. Sesekali dia — tepatnya mereka — hinggap dan meninggalkan tahi di gantungan nomor rumah.
Siang panas ini saya merindukan masa kecil, ketika burung-burung tak sungkan masuk ke kamar dari jendela yang terbuka lebar.
Siang ini dua daun jendela saya buka penuh, supaya rumah tanpa AC ini tak terlalu panas. Tapi burung-burung hanya di luar. Jauh dari tangkapan lensa.
Dulu, di rumah masa kecil saya, burung-burung berdatangan, menganggap kami sebagai kawan, karena nenek saya menyediakan wadah bulir nasi kering di tiang jemuran yang terletak di halaman berumput dalam rumah.
Burung-burung itu, seperti saya katakan, kadang masuk ke kamar melalui jendela. Tapi dasar anak tak tahu diuntung, kadang burung di kamar saya lempar selimut. Pasti ada yang tertangkap, untuk kemudian saya lepaskan lagi.
manukKini saya bermukim di luar DKI. Di kompleks yang rumahnya kecil-kecil, sebagian tak menyisakan halaman, dan sebagian besar lagi tak berpohon, karena lahan tak cukup.
Hmmm… pepohonan. Manusia membutuhkan, satwa juga. Jika bicara penghijauan yang bagus untuk manusia dan burung, Sir Mbilung pasti lebih tahu.
Saya teringat sahabat saya yang bermukim di sebuah kompleks perumahan di Sleman, Yogyakarta. Kepada setiap pembeli rumah, developer menanamkan pohon mangga di halamannya. Maka saat musim mangga, perumahan itu ikut memanen. Ulat dan codot juga ikut.
Di Jakarta, beraneka burung bebas beterbangan dekat rumah adalah kemewahan. Saya ingat ketika awal bekerja di Jakarta dan mencari seseorang di Bukit Golf Pondok Indah, blok eksklusifnya kawasan itu. Banyak pohon buah di taman-taman yang diapit jalan dan rumah mewah. Kata Pak Satpam, “Kalo rambutan atau nangkanya berbuah, ya kami yang ngambil.”
Yang mengesankan saya bukan hanya beragam buah, atau keteduhan yang nyaman buat jogging tengah hari seperti yang dilakukan oleh beberapa ekspatriat, melainkan kicau aneka burung tak bersangkar.
Sayang, kawasan yang setiap rumahnya berhalaman belakang lapangan golf itu harganya tak terjangkau oleh setiap orang.
*) Kalau burung dara yang datang, kenapa ya banyak orang tak suka? :)
Dia Alumna Harva(r)d
Ada bimbingan belajar yang mencomot nama “Salemba”, padahal markas kampus tujuan sudah pindah ke Depok. Ada yang memakai kata “Ganesha”, dan-atau logo gajah duduk. Malah ada yang memakai kata “Gama”, padahal perguruan tinggi yang dirujuk tak dijuluki lagi dengan kata itu.
Nggak soal. Namanya juga usaha. Kalau kampus domestik kurang keren, kampus luar negeri juga bisa dicomot untuk nama kursus. Misalnya “Oxford” dan “Cambridge”.
Belum terbayang apakah akan ada yang bikin kursus dengan label “Carnegie Mellon”. Kata kedua, yang di kuping dan lafal awam mengesankan sebagai buah, mestinya membawa kesegaran.
harvard pondokgedeTentu kemudahan pengucapan juga perlu. Mengusung nama “Sorbonne” bisa merepotkan. Kalau kurang akrab di kuping penanya bisa disangka kursus menjahit sorban.
Pakai nama “Urbana-Champaign”, tanpa kata susah “Illinois”, bagi pemabuk kelas cap tikus bisa dikira kursus bartender — lengkap dengan juggling botol minuman.
Salon untuk Bekas Pengantar
Tampaknya sudah tak ada lagi cap “salon buat emak-emak” dan “salon untuk cewek”. Keindahan harus dikejar dan dipertahankan tanpa kenal usia. Penyedianya bisa bernama salon, klinik, pusat kecantikan, pusat perawatan tubuh — pokoknya bukan puskesmastik (pusat kesehatan masyarakat cantik), karena ini istilah ndesit, kurang kosmopolit.
impressionsLayanan salon emak muncul karena peluang bisnis. Ada tahap ketika hukum alam menampakkan ketegaannya sehingga wanita harus menyiasati. Masalahnya juga bukan sekadar usia melainkan daya beli. Kalau sudah matang, diandaikan, lebih berduit — dan lebih niat.
Tapi pasar tak hanya harus dipertahankan. Pasar kudu diperluas. Maka layanan untuk konsumen muda (pelajar) pun diperkenalkan. Itulah layanan untuk cewek yang selama ini cuma mengantar dan menjemput emak dan bibinya. Duitnya ya dari emak. Masa sih untuk cantik-seksi harus menunggu dapat pekerjaan. Lama.
Lebih bagus lagi kalau ada alasan pembenar berbau historis supaya tak dituding mengajak konsumtif. Misalnya, “Dahulu kala, para putri kraton pun bla bla bla demi kecantikannya sejak belia.” Beres. Tancap. Kalkulator jebol tombol tapi tak tekor. Kompetitor juga tak mau ndlosor, sekaligus ogah dibilang sebagai pengekor.
Hmmm… salon memang bisnis yang gurih — kalau pintar mengelola. Esok, ketimbang lelaki pengantar pasangan / adik / kakak / teman / kenalan anyar itu bengong, mestinya juga kudu dilayani. Maka jadilah salon keluarga yang membuat nyaman pria metroseksual maupun metromini.
Eh, lelaki bengong? Ada sih yang begitu di salon. Itu lho, para pengantar. Membolak-balik majalah fesyen, menyedot minuman, tak merasa memperoleh apa-apa, dan lagi-lagi menengok arloji dengan kesimpulan bentuknya belum berubah.
Meskipun banyak yang gemulai di sana, kaum pengantar ini kurang enjoy. “Sama-sama berkumis, ngapain?” kata seseorang. Cari yang klimis dong Say, sekalian menyusun revisi “kamus akika sutra endang”. Para gagah gemulai dan tegap jelita bisa jadi narasumber.
Subscribe to:
Posts (Atom)